Sabtu, 12 Oktober 2013

Janji Kelingking

Saat itu, airmataku bercucuran membasahi pipi. Nada nada ketakutan selalu mengalun dari setiap penjuru. Kegelisahan menikam dari berbagai arah mata angin. Aku tenggelam di gelisah yang dalam, dalam lamunan kelam bertabir ketakutan. Ingin aku bersandar dan mempertahankan impian, namun aku harus tetap berdiri dengan kekuatanku dan berusaha keras menautkan helai helai sayap untuk terbang, meski diserang takut dan gelisah.
Kukira, tak kan ada yang datang, kukira, semua orang telah sibuk berlomba menggapai impian mereka, kukira, mereka telah sanggup berjalan sendiri tanpa ada ketakutan yang mendera. Semua perkiraanku terpatahkan. Kau hadir dari semua arah mata angin dengan nyanyian merdu yang menyirnakan ketakutan dan kegelisahan itu. -- kita punya impian, dan kita akan bersama mengarungi samudra hidup yang pasti berombak, kita akan terbang ke langit dan mengambil awan untuk oleh oleh pulang, kita akan bergandeng tangan dan saling melindungi selama perjalanan ini -- kelingking kita tautkan, senyum kita sunggingkan, janji kita pegang, janji kelingking : perlambang janji hati yang tersepuh kesetiaan dan ketepatan yang nisbi.. meski agak kabur, tapi janji tetaplah janji, aku masih sangat ingat, dan kuharap kaupun juga. =)

Janji Kelingking -03.90-

Prosa : Tarian Rembulan - Emha Ainun Nadjib

Prosa ini saya tulis lebih dari satu tahun yang lalu, tanggal 1 Oktober 2013.

Prosa : Tarian Rembulan - Emha Ainun Nadjib

October 1, 2012 at 7:53pm
Malam datang dengan membawa serta kesunyian. Kota telah terlelap, hanya lampu lampu jalan serta kunang-kunang di tepi sungai yang membungkusnya dengan keremangan. Sejenak, para manusia dapat melenakan dirinya diantara terpaan angin malam, menanggalkan beban & isi pikiran, menaruh cita-cita, hutang, maupun tugas serta pekerjaan. Langkahkan kaki sebentar ke bawah hamparan kerajaan langit, & pandangi rembulan yang menyuguhkan tarian.
Bukan merenung, bukan juga berpikir. Hanya menentramkan perasaan, menghampakan hati, & kosongkan jiwa. Hanya pandangi sang rembulan saja, temukan gemulai geraknya & betapa ia begitu mahir menyesuaikan diri dengan irama alam. Cobalah ikuti, putarlah terlbih dulu pada poros tempatmu berdiri, lalu melangkahlah berkeliling ranting-ranting pohon yang menengadah itu. Menarilah, bersama rembulan.
Irama alam itu, sayup sayup semerdu tabuhan gendang yang di padu petikan mandolin, serta para bambu yang telah berubah menjadi seruling tertiup...dengarlah, & teruslah menari. Berkeliling kebun, pedesaan, perkotaan, pulau-pulau, negeri-negeri, bulatan bumi, kemudian matahari. Teruskan tarianmu, sampai kau mengelilingi galaksi, hingga ke maha galaksi.
Bagaimanakah? Kau baru saja menjadi penampil pada festival cinta... Ukurlah tarianmu, lebih indahkah dari tarian rembulan? Setiap putaran, ia menari tujuh lapis gerakan sekaligus : tarian tujuh lapis langit. Begitulah, rembulan yang beku kering itu bekerja amat keras, dengan kodrat tanpa memiliki sifat malas, ia bahkan tidak diizinkan untuk terlambat satu detikpun, atau sistem kosmos akan jadi tidak karuan. Betapa setianya ia, rembulan sang penari, yang tak pernah meninggalkan bumi, bahkan ia tiada mungkin bergeser sejengkalpun dari titik keberadaanya, dari titik koordinat langit..

Dikembangkan dari puisi Tarian Rembulan buah karya Emha Ainun Nadjib (Trilogi Doa Mencabut Kutukan, Tarian Rembulan, Kenduri Cinta)

Di Bawah Langitku Kini

Wahai jiwa, kukatakan padamu tentang kerelaan
Sesuatu yang mungkin belum kau mengerti dulu
Saat dalam malammu, kerajaan langit dan para gemintang melukiskan wajahnya
Saat kau memandangnya, serasa jarak kecepatan cahaya menjadi berjengkal saja

Wahai jiwa, penyadaranmu kini penuh mengecewakan
Karena jauh tetap saja jauh
Sementara perasaanmu kau raba saja tiada kuasa
Jangan kau bertahan menyatakan yang jelas-jelas fana

Dalam bunga yang kau paksa mengindahkanya
Meski kering dan berbau busuk tetap saja kau bilang cantik dan mewangi
Bukan itu harusnya yang kau yakini

Dari langit ke langit, binar-binar hangat tersenyum padamu
Membuka perlahan jiwa yang tersilaukan
Sambutlah, dan kerelaan akan menyertai
Tiadakan kesusahan, karena kau menggenggam keberhakan
Songsong dan peluk ia kuat-kuat
Kau berhak, lakukanlah
Tersenyumlah kau terpautkan kasih sayang
Kini, wahai jiwa.. Kau telah ada dibawah langitmu sendiri

Senin, 07 Oktober 2013

Sekeping Kenangan, Ajaib



Hasna pergi begitu saja. Cepat. Meninggalkan kenangan yang meluluh lantahkan hatinya. Perih. Selalu seperti itu setiap ia kembali harus menyusuri jalan-jalan yang dahulu menjadi jalan terindah di setiap harinya. Selain cinta, mungkin hal yang ajaib adalah kenangan, ia dapat begitu manis di suatu waktu, dan menjadi sangat pahit di waktu yang lain. Aku selalu bingung membicarakan hal-hal yag ajaib seperti itu. Tapi Hasna, ia lebih bingung meniti hidup dalam kungkungan kenangan yang serba kadang-kadang. Kadang-kadang manis bak gula-gula, kadang-kadang pahit serasa obat sakit kepala.
            Siang di musim penghujan, hujan turun berjam-jam. Ia berteduh berjam-jam pula. Payung yang dibawanya tertinggal di kantor sekolah. Ia sedang berada di teras pertokoan kala itu. Bayangan seseorang yang ia kenang berkelebat mendebarkan. Ia membelalakkan matanya, mengerjapkannya berkali-kali, lalu hilanglah bayangan itu.” Ampun.. aku bodoh lagi. Live must go on, Hasna.” Hasna bermonolog lagi pada dirinya, dengan monolog yang sama. Hasna segera memaksa dirinya untuk melupakan bayangan yang berkelebat barusan. Ia alihkan pada rintik-rintik hujan yang mirip dengan Kristal. Selalu menenangkan.
            Satu jam ia berdiri di teras pertokoan itu, ia tiba-tiba membodoh-bodohkan dirinya sendiri, sepuluh kali lebih banyak daripada yang awal. Ia melihat sosok yang ia kenang tepat di hadapannya, tersenyum padanya, melihatnya, bersitatap mata ke mata. Hatinya bagai dihantam ombak kenangan, hatinya bagai tanah yang ingin longsor. “Benarkah? Benarkah ia ada di hadapanku?” monolognya lagi. “Hai… Hasna…” kata orang itu, singkat. Seketika itu, Hasna sadar dari lamunannya. “Haa..Hai…” Hasna terbata. Mata orang itu benar-benar menenggelamkan Hasna pada perasaan yang sebenarnya belum hilang meski mereka telah tidak bertemu selama empat tahun. Rasa itu datang lagi menggelitik relung hatinya, menggoyahkan tekad move onnya. “Hasna, apa yang kau pikirkan, apa yang kau rasakan?” hatinya berbisik.
***                                                                                                                         
            Hasna berbunga-bunga hari ini. Kenangan dan kenyataan seperti seiring sejalan bagi Hasna akhir-akhir  ini. Pertemuannya dengan orang yang ia kenang membawanya pada kenyataan. Bermula pada pertemuan yang disaksikan oleh beribu air langit, perasaan Hasna yang empat tahun bersemayam di dinding jiwanya kini dapat ia bagi dengan orang itu. Seminggu setelah hari itu, orang yang Hasna kenang menyatakan rasanya juga pada Hasna. Rasa yang sama, mereka saling suka. Empat tahun Hasna tidak sia-sia, dan memang tidak akan ada yang sia-sia selama mau bersabar dan menjaganya.
            Namun sayangnya, romansa mereka harus terpisah jarak setelah sebulan mereka intens merekatkan rasa. Berbagi info tentang diri mereka masing-masing. Berbagi deskripsi mengenai rasa yang telah bertahta lama di jiwa. Airmata Hasna mengalir deras, bersaing dengan hujan yang mengiringi perjalanan orang itu ke Kota Lain.
***
            “Lili, aku benar-benar rindu. Namun aku juga kecewa. Sangat. Dua bulan ia disana, tak ada kabar berita. Aku hubungi a berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Ia seperti menghilang, Li. Seenaknya saja menghempaskan hatiku. Sering aku berpikir, empat tahun merawat perasaan ini, apakah tidak cukup?” airmata Hasna mengalir sangat deras saat ia bercerita kepadaku. Pkilatan langit menambah sayatan luka di hatinya. “Lili, aku ingin menyusulnya, menyusul Mas Adit.” Kata Hasna berapi-api, menghanguskan sakit di hatinya. Baru aku tahu bahwa orang yang selama ini ia kenang bernama Adit. Aku mendukungnya. Perasaan harus dijelaskan sejelas-jelasnya. Jika Adit tidak mau atau tidak mampu menjelaskannya, maka haruslah Hasna yang mencarinya. Ini bukan hanya perkara hati Adit, tapi juga hati Hasna.
***
            Kota Lain sangat ramai. Dengan selembar kertas beruliskan alamat, Hasna memberanikan dirinya mengitari Kota Lain ini. Ia masih buta dengan arah kota ini. Lama ia berkitar, dari sisi satu ke sisi yang lain. Dari sudut satu ke sudut yang lain. Setengah hari ia melalukan perjalanan harap-harap cemas. Tak kunjung bertemu. Ia berjalan lagi, lama, dan lelah. Bertanya-tanya kesana-kemari.
            Tuhan menyayangi hamba-hambaNya yang mau berjuang. Setelah seharian Hasna melewati gang-gang dan belokan-belokan, iapun menemukan rumah Adit yang ternyata kosong. Bersama senja, ia memutuskan untu menunggu Adit. Ia mencoba mengatur detak jantungnya senormal mungkin.
            Lima belas menit duduk di bangku kayu di depan rumah Adit, Hasna melihat Adit datang. Ya Adit benar-benar datang. Datang bersama, bersama orang lain yang ia genggam tangannya. Adit selingkuh. Hasna menyimpulkan kejadian yang barusan ia lihat. “Tidak, aku harus mendengar penjelasannya dulu. Jangan emosi. Jiwaku, tenanglah, kuatlah, sebentar saja.” Adit terbelalak melihat Hasna didepanya. Wanita yang disamping Adit bertanya siapa Hasna, dan Adit kebingungan menjelaskan. “Dia, Hasna, sahabatku dulu.” Kata-kata Adit yang langsung meremukkan hati Hasna. Airmata kembali mengalir bak air langit yang turun. Ia remuk, ia redam, ia sakit, ia perih. Kesetiaannya tercabik. Dengan airmata yang semakin menderas, Hasna tanpa pikir panjang  meninggalkan lelaki yang mulai detik iu tidak akn lagi menjadi kenangan indahnya. Nila setitik, rusak susu sebelanga. Begitulah kira-kira.
(bersambung)

Siluet Sapaan Cinta di Segulir Perjalanan



Aku masih SMA kala itu. Kala sebuah perasaan asing yang lebih asing dari pelajaran logaritma. Perasaan yang aku tidak menemukan antonimnya. Jika sedih berantonim senang, kecewa berantonim puas, lantas perasaan ini, apa namanya dan apa antonimnya? Dan penelisikan-penelisikanku tentang rasa ini seperti memaksa otakku mengulik betapa luarbiasanya perasaan ini. Ia bukan bahagia atau duka, bukan pula kecewa dan perasaan getir semacamnya. Ia perasaan yang rumit namun sederhana, perasaan yang lebih dari cukup untuk menghidupkan hidup.
            Aku seperti tersedot dengan lamunanku sendiri. Tiba-tiba aku melihat diriku yang masih berseragam abu-abu. Aku dan sahabatku, Lala seperti biasa saat istirahat selalu menyempatkan diri untuk shalat dhuha di masjid sekolah. Tapi hari itu, langkahku terhenti di aula sekolah yang dipenuhi orang-orang tua. Mereka seperti sekumpulan guru yang sedang rapat akbar, atau peserta penataran yang kompak berbaju batik. Aku yang dewasa sontak mengingat kejadian itu. Aku merinding, dan satu persatu butiran bening yang kubendung di balik mataku meleleh, mendobrak pertahanan hatiku. Aku kembali memperhatikan aku yang kecil. Aku yang kecil dengan takut-takut mengintip dari balik jendela yang tirainya sedikit tersibak. Aku melihat seorang lelaki yang sedang duduk tenang diantara orang-orang yang berbaju batik. Ia sempat menoleh ke arahku, dan debaran yang mengawali perasaan aneh pertamakupun kualami jua.
            Ia yang memandangku dari balik kacamata minusnya sambil terduduk, lalu seperti ia tersenyum ke arahku namun aku terlanjur tersengat dengan perasaan asing lebih memilih lari menghilang darinya. Aku malu, dan berlari menyembunyikan rasa maluku. Di mushala, ditengah curahan hatiku pada ilahi rabbi tentang perasaanku saat itu, sayup-sayup aku mendengar kalam ilahi yang dibaca jernih, aku yakin itu ialah suara seorang laki-laki. Aku yang sedang mencoba meraba makna perasaanku inipun terlarut dengan lantunan kalam ilahi itu. Begitu damai rasanya, aliran-aliran air membentuk sungai di hatiku yang baru saja seperti berada di luar angkasa, di negeri antah berantah yang sama sekali tak ku kenali.
            Aku yang dewasa masih menangis, sungguh sebenarnya aku merindunya, rindu akan perjumpaan yang mengawali semua kisahku tentang sebuah rasa yang belakangan ku ketahui, bahwa itu ternyata segurat cinta yang menunjukkan sapaannya. Hatiku yang masih mungil tergelitik, lebih-lebih setelah aku mengetahui bahwa sang pembaca Al-Qur’an tadi ialah lelaki berkacamata minus yang kulihat dari balik jendela. Dari temanku, Lala aku tahu bahwa namanya ialah Arham. Arham adalah kakak kelasku, 2 tahun lebih tua dari aku. Ia terkenal ramah, dan menjadi aktivis di organisasi keislaman di SMA. Mas Arham, begitulah akhwat di sekolah memanggilnya. Dengar-dengar ia juga seorang hafidz, seorang yang sudah menghafal Al-Qur’an. Selanjutnya setelah aku mengetahui sekelumit data dirinya, aku hanya mengaguminya. Aku hanya mengaguminya dalam diam, dalam doa-doa yang kupanjatkan siang malam, dalam ketundukan dan kuzuhudan untuk meredam rasa yang bisa jadi tipu daya syaitan. Semakin hari aku mengetahui tentang dirinya, semakin keras aku berusaha menjadikan hatiku tetap berada pada titik nol, dengan kepasrahan tertinggi. Aku beruntung, karena di usiaku yang bahkan belum 17 tahun, aku dipertemukan dengan akhwat yang jauh lebih dewasa dariku. Akhwat di pondok pesantren yang mayoritas sudah kuliah semester 6. Aku menceritakan semuanya tentang kisahku, dan mereka menjadi pengerem yang pakem tentang buncahan rasa yang tiba-tiba hadir merepotkanku itu. “Banyak-banyaklah istighfar, Jauza”, begitulah kata Mbak Novi, senior di pondok pesantren yang sudah ku anggap sebagai kakakku sendiri.
            Dalam tangisku menyaksikan siluet masa mudaku, aku kembali tersedot dalam lubang yang didalamnya seperti angin yang bergulung-gulung, menerbangkanku menembus waktu dan mendaratkanku di tempat yang sangat kurindukan. Masjid SMA lantai dua. Aku melihat aku yang masih kecil berdiri bersandar di tiang masjid dekat tangga dan melayangkan pandanganku menyapu seisi lantai satu masjid. Beberapa saat kemudian, aku kecil menfokuskan pandanganku pada satu titik, sambil menundukkan badanku setinggi pembatas untuk mengintai seseorang. Mas Arham. Obyek yang sedang aku intai saat itu. Aku melihat Mas Arham sedang terduduk sambil terkantuk-kantuk. Sesekali matanya terpejam, kepalanya terantuk ke depan, dan beberapa saat kemudian kembali sadar. Ia sedang duduk sendiri kala itu, dan aku menahan ketawa melihatnya. Mangantuk memang sudah terkenal sebagai kebiasaan seorang santri. Akupun juga sering begitu, apalagi suasana masjid yang selalu menyejukkan sangat mendukung rasa kantuk. Saat itu, aku masih diam-diam mengaguminya. Hingga secara tidak sengaja, matanya yang baru saja tersadar menabrak mataku yang masih asik memandangnya. Aku sempat beberapa detik tidak mampu mengelebatkan pandanganku padanya, namun beberapa detik setelah itu, aku kembali mampu berkuasa atas mataku lagi. Aku menenggelamkan diriku dibalik pambatas masjid dan mangikuti kata-kata mbak Novi : beristighfar.
            Aku yang dewasa geleng-geleng sendiri melihat tingkahku kala itu. Sembari kuperhatikan diriku di masa lalu, airmata menetes lagi dan lagi melihat Mas Arham yang sangat kurindukan. Aku teringat betapa aku sangat ingin bicara dengannya, betapa aku sangat ingin berjalan di sampingnya, namun Ilahi Rabbi berkehendak lain, dengan kehendak yang lebih indah dan lebih kubutuhkan daripada keinginan kecilku itu.
            Aku yang dewasa masih memandang tingkahku yang kecil. Dalam kalimat-kalimat istighfar, aku kembali mengintai Mas Arham, kali ini ia sudah tidak berjibaku melawan kantuknya, ia kini menorehkan tinta di secarik kertas sambil sesekali menyunggingkan senyum dan membetulkan letak kacamata minusnya. Dari jarak beberapa meter, Mas Arham tampak seperti seorang pujangga yang sedang merangkai syair.
            Lalu, aku yang dewasa dengan tiba-tiba kembali tersedot dalam lorong yang tak kukenali. Aku seperti dibawa untuk melintasi waktu, dan kembali mendarat di tempat yang aku sangat rindukan. Aku melihat aku yang kecil tersenyum gembira di kursi bambu belakang sekolah. Aku menggenggam secarik surat yang disertai kacamata minus yang begitu akrab dengan mataku akhir-akhir ini.
Teruntuk Rajwa...
                Dari balik jendela kaca yang tirainya sedikit tersibak, dalam beberapa detik Allah seperti menyihirku lewat perantara ciptaanNya yang mempesona, yaitu sepasang matamu. Teduh, dan tenang. Dan aku sangat bersyukur dapat melihatnya beberapa waktu yang lalu. Di tempat ini, di Masjid SMA kita yang sejuk ini, kembali aku melihat mata itu, beberapa kali sedang memperhatikanku. Aku sempat tidak percaya tentang hal itu, tapi setelah pandangan kita saling bertaut, aku mulai meyakinkan diriku untuk mempercayainya.
                Maaf jika suratku ini mendebarkan hatimu. Ada satu hal yang ingin aku ungkapkan padamu, bahwa sebenarnya tanpa kau ketahui, aku sudah tahu namamu sesaat setelah mata indahmu menyusupkan sebuah debaran asing di hatiku. Aku secara tidak sopan mencari tahu tentang dirimu. Dan aku semakin ingin mengenalmu, secara langsung dari dirimu, maka dari itu, dengan kacamata yang kutitipkan ini, mohon nanti sepulang sekolah menemuiku di kursi bambu belakang sekolah, jikapun kau tidak berkenan bicara padaku, setidaknya tolong kembalikan kacamataku yang kutitipkan ini.
Dari saya yang tidak sopan Arham...
            Saat itu, hatiku bagai terbang ke angkasa raya, begitu bahagia. Dan, dengan sabar aku menunggunya di tempat ini, di kursi bambu belakang sekolah. Aku melihat aku yang kecikl sedang memandang guguran daun kuning yang berjatuhan disekitarku. Matahari masih terik karena barusaja waktu pulang sekolah tiba. Beberapa menit aku menunggunya, telepon genggam yang kutaruh di saku rok abu-abu bergetar. Lala, sahabat baikku menelepon. Dari seberang, terdengar suaranya sendu. Ia sedang mengalami kesedihan yang mendalam, begitulah kesimpulanku.
            “Jauza, kamu mau ikut ta’ziyah ke rumahnya Mas Arham tidak? Kalau ikut, sekalian saja sama anak-anak rohis, sekarang ya ditunggu di depan masjid SMA”, kata Lala tanpa spasi sesaat setelah aku menjawab salamnya.“Siapa yang meninggal La? Sebenarnya sekarang aku sedang di bangku bambu belakang sekolah menunggu Mas Arham”, kataku mulai gundah.“Astaghfirullah, kamu menungggu Mas Arham? Mas Arham, Jauza... Mas Arham barusaja kecelakaan di tikungan samping sekolah dan langsung meninggal di temapat...”, katanya lirih.
            Aku yang dewasa menangis untuk kesekian kalinya. Aku mengiringi tangis yang tertahan dari aku yang kecil. Ingin sekali aku menopang langkah kecilku yang tergopoh menuju sekolah, melewati tikungan samping sekolah yang masih mencekam dengan percikan darah, juga orang-orang yang menyaksikan kejadian itu. Disisi kanan jalan, sebuah truk terjungkal dengan kaca-kaca yang pecah berserakan, juga ada bekas ban yang terseret di samping kiri truk itu. Sedikit tergambar apa yang barusaja terjadi disana. Sebuah kecelakaan yang mematikan, dan korbannya, ah...aku tidak sanggup menyebutnya.
            Aku yang dewasa tak mampu lagi berdiri, aku jatuh terjongkok dan seperti tidak sadarkan diri. Lalu ketika aku sadar, aku sudah berada di kamarku lagi. Dengan sosokku yang sudah dewasa, dengan ayah dan ibuku tertidur terduduk di sampingku. Dan tubuhku sepertinya menjadi magnet untukku. Aku kembali disatukan dengan tubuhku setelah aku menembus perjalanan waktu. Aku tertidur, lama, dan aku melihatnya. Aku melihat Mas Arham dan diriku berada pada ruangan yang serba putih. Aku memakai seragam putih abu-abu, seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya, dan iapun juga berseragam putih abu-abu, sama seperti aku.
            Matanya yang menenangkan itu menatapku dalam, perlahan ia mendekatiku yang mematung di hadapannya, lalu ia berkata lembut, “Jauza, maafkan aku yang akhirnnya hanya mampu membuatmu meneteskan kristal bening dari mata indahmu ini. Aku bahkan tidak sempat menemuimu di bangku bambu belakang sekolah, padahal aku yang menyuruhmu terlebih dahulu pergi kesana. Ketahuilah Jauza, aku ingin sekali membuatmu tersenyum saat itu. aku membayangkan matamu yang tiba-tiba tertuduk malu menyambut aku datang saat itu. Tapi, Allah bertakdir lain. Aku mendahuluimu melewati pintu langit. Menjauh dan menjauh tanpa aku mampu menghindarinya. Dan kacamata minusku yang masih kau simpan bahkan setelah tujuh tahun berlalu itu membuatku mempunyai alasan untuk kembali menemuimu. Allah Maha Baik, dan lewat perjumpaan ini, aku ingin kau bertahan, dan meniti jalan hidupmu di dunia sana. Banyak hal yang bisa kau lakukan namun belum sempat kau lakukan disana, anak-anak didikmu di sekolah, orangtuamu yang kini sedang menungguimu, dan calon suamimu, Mufti yang harus kau sandarkan namanya di bawah nama Allah dan Rasulullah. K-e-m-b-a-l-i-l-a-h, Jauza. Aku bahkan belum mengawali perjumpaan kita dengan salam, dan kini di ujung perjumpaan kita ini, aku ingin mengucapkannya untukmu, tulus dengan segenap ketulusan di hatiku. Sampai berjumpa kelak Jauza, Wassalaamu’alaikum..,” lalu semua menjadi putih kembali.
            Tiba-tiba, aku mampu membuka mata yang menyatu dengan ragaku, Ibuku yang berwajah sayu karena lelah menungguku bersyukur seraya memelukku, menyebut namaku dan memuji kebesaran Allah secara bergantian. Aku yang lemah didekapnya erat-erat. Beberapa menit kemudian, Mas Mufti datang dari balik pintu, mengucap salam dan terkejut melihatku sudah sadar. Ia tersenyum tipis, mirip dengan senyum Mas Arham. Akupun tersenyum, Allah masih memberiku kesempatan. Kecelakaan yang kualami tempo hari tidak menjadi perpanjangan tangan Allah untuk menjemput ruhku menghadapNya. Dalam hati aku berkata lirih “Alhamdulillaah...aku selamat”.

Minggu, 06 Oktober 2013

Lima Menit



Selalu ada setidaknya lima menit menyenangkan dalam malamku, lima menit saat ia memperdengarkan suaranya dari seberang, lima menit saat ia menanyakan kabar keadaanku, lima menit saat ia bertanya bagaimana kondisi rasa dan hatiku, lima menit saat ia menjawab apa yang aku tanyakan padanya. Lima menit yang menyenangkan, yang tidak mungkin luput untuk aku syukuri dalam setiap sujud subuhku beberapa jam setelahnya.
            Embun-embun pagi merangsek ke ujung-ujung daun, langit menerang, mentari malu-malu muncul. Ibuku yang selalu berhati malaikat membangunkanku. Aku masih bermukena, aku tak sengaja tertidur setelah dengan setengah sadar menunaikan sahalat subuh. Aku memang selalu begitu. Suaranya yang hanya lima menit ku dengar itu selalu menyirnakan rasa kantukku, dan menghadirkannya kembali di fajar yang dingin. Tapi tiada mengapa, rasanya masih tetap menyenangkan.
            Kembali Ibu menungguku di meja makan, kebiasaan kami memang, setelah Ayah meninggal dua tahun silam, Ibu tidak pernah membiarkanku makan sendirian. Ia tersenyum padaku, senyum malaikat. Seperti biasa, aku mencium Ibuku terlebih dahulu, Ibu tampak cantik dengan jilbab coklat yang dibelikan almarhum ayah dulu. Kami makan, sebagaimana lazimnya. Masakan Ibu tetap enak, mungkin ini salah satu hal yang membuat ayah jatuh cinta dulunya. Minggu pagi yang selalu membahagiakan, bersama Ibuku.
            Di sofa ruang tengah, aku melihat Ibu mebuka-buka album kenangan kami dulu. Ketika keluarga kami masih lengkap. Ibu, Ayah, dan aku. Aku anak tunggal, tidak punya saudara kandung. Ibu juga anak tunggal. Ayah tiga bersaudara, paman-pamanku merantau ke negeri seberang, sementara kami menetap di negeri kami sendiri, negeri yang katanya makmur sentosa ini. Ibu menoleh dan tersenyum padaku, pandangan Ibu sayu, sedikit basah di ujung-ujungnya. Aku duduk disamping Ibu, meminta Ibu mengelusku manja.
            “Ibu, sebesar apa kerinduan Ibu terhadap Ayah?”
            Ibu tersenyum, senyum malaikat. “Ibu tidak tahu, mungkin tidak terlalu besar.”
            Aku tersentak. Alisku menyambung. Mengapa begitu?
            “Kerinduan Ibu selalu luruh ketika Ibu membuka kembali kenangan-kenangan itu. Bagi Ibu, selama Ibu masih memiliki kenangan itu, kenangan yang baik ataupun kenangan yang buruk, Ibu akan bisa kuat meredam rindu Ibu pada Ayahmu. Nak, kenangan itu, selain hal yang ampuh untuk menyatukan hati yang sudah retak, juga ampuh sebagai peredam rindu yang terkadang menggebu tak tertahankan.”
            “Walau dengan airmata?”, aku bertanya lagi.
            Ibu memeluk erat diriku. Hangat sekali. “Nak, di kehidupan yang luas ini, tidak semua yang terlihat bisa ditafsirkan sebagaimana lazimnya. Ketika airmata identik dengan kesedihan, kehilangan, atau perpisahan, tidak serta merta kau boleh menafsirkan secara mutlak bahwa airmata adalah pertanda hal-hal yang menyedihkan tersebut. Airmata Ibu tadi adalah airmata bahagia. Wujud kesyukuran Ibu yang teramat tulus. Ibu menangis karena Ibu rasa Tuhan begitu baik dengan Ibu, mengizinkan Ibu menyimpan kenangan-kenangan itu dengan rapi dan utuh. Membahagiakan sekali bukan?”
            Aku beranjak dari pelukan Ibu. Kutatap wajahnya yang elok menenangkan. Garis-garis wajahnya sudah terlihat. Ibuku sudah semakin tua, sebagaimana juga aku yang sudah semakin dewasa. Melihat Ibu yang seperti ini, airmataku mendesak, ingin keluar. Korneaku basah, beberapa menit kemudian, basah juga pipiku. Aku gantian yang memeluk erat Ibu. Semoga waktu akan menjembataniku untuk menjadi seseorang yang seperti Ibu. Berhati malaikat, memiliki senyum malaikat. Mulia sekali.
                                                                        ###
            Malam, kerajaan langit memamerkan pasukan bintang gemintangnya. Semuanya tumpah ruah mengitari permaisuri bulan yang kala itu hanya menampakkan dirinya serupa senyum. Melengkung setengah lingkaran. Dalam sujud malamku, aku bertanya pada Tuhan. Apakah Ibu dan Ayah saling merindukan, Tuhan? Berpisah dengan jarak yang lebih dari ribuan kilometer cahaya, bahkan jarak yang tiada terbatas, benarkah Ibu tidak terlalu merindukan Ayah? Ataukah karena terlalu merindukan Ayah, Ibu hingga tak mampu mendeskripsikan kerinduannya itu? Benarkah airmata Ibu adalah airmata syukur, airmata bahagia? Entahlah, aku belum mendapatkan jawaban atas perkara-perkara itu. Tapi aku percaya pada Ibu. Aku yakin ia bahagia, sebesar apapun desakan kerinduan yang mengganggu hatinya. Ibu masih memilikiku. Aku yang siap menjadi pelipur laranya, pengusir rasa sepinya.
            Pukul 00.01, selamat datang hari Senin. Selamat datang lima menit yang menyenangkan. Telfon genggamku berbunyi. Pasti dia. Benar saja, namanya terlihat di layar telfon. Seperti biasa, lima menit masih sangat menyenangkan. Lima menit saat ia memperdengarkan suaranya dari seberang, lima menit saat ia menanyakan kabar keadaanku, lima menit saat ia bertanya bagaimana kondisi rasa dan hatiku, lima menit saat ia menjawab apa yang aku tanyakan padanya. Lima menit yang menyenangkan, yang tidak mungkin luput untuk aku syukuri dalam setiap sujud subuhku beberapa jam setelahnya.
            Di akhir pembicaraan kami, aku berkata padanya “Aku bersyukur, aku bersyukur ada lima menit yang menyenangkan dari 24 jam hariku. Inilah kenangan kita, yang akan merekatkan rangkaian kisah kita. Kata Ibu, kenangan, selain hal yang ampuh untuk menyatukan hati yang sudah retak, juga ampuh sebagai peredam rindu yang terkadang menggebu tak tertahankan. Indah bukan?” Dia mengiyakan dari seberang sana, pertanda setuju. Pemahaman baruku. Pemahaman barunya juga. Kenanganku, lima menit menyenagkan kami, lima menit menyenangkan yang akan terus kami jaga sampai masa yang kami tidak bisa kami prediksi, yang akan kami kenang sebagai masa indah yang telah terlewati suatu saat nanti.

Sang Pembuka Kesempatan



*Ini kisah seorang gadis pemimpi. Gadis yang tak jarang mengalami jatuh dalam perjuangannya, gadis yang harus berlari guna mewujudkan ambisinya. Ia telah berkali-kali mengubur mimpinya, untuk kemudian menghidupkan mimpi yang lain lagi. baginya, mewujudkan mimpi itu susah, lelah. Tapi, karena mimpi itu menghidupkan, mana mau ia berhenti, meski sayapnya harus patah, ia akan terus terbang, tetap terbang.
            Di suatu siang yang sejuk, ia bercerita padaku.
            Mbak, dulu, sewaktu akhirnya aku harus tetap kuliah di Salatiga, aku pernah sangat merasa ketakutan. Aku takut tak bisa melihat dunia diluar sana. Sebenarnya, aku ingin belajar di dunia yang maha luas, mengerti seperti apa rintangan diluar sana, kemudian berusaha melewatinya. Aku bercerita pada seorang teman, teman yang memotivasiku utnuk menjadi lebih baik lagi, dan ia bilang “Bukan berarti di Salatiga, kau tak bisa melihat dunia. Buktikanlah, kau selalu berbeda di mataku. Kau pasti bisa membuka pintu untuk keluar sana. Aku percaya”. Ia dengan yakin mengatakan hal itu padaku, Mbak.. dan hal itu membuatku semangat. Ya, aku menghidupkan mimpi baru, aku bertekad akan membuka pintuku untuk melihat dunia.
            Ajaib Mbak. Berani bermimpi berarti berani menerima resiko dari mimpi itu : Terwujud, atau terkubur untuk kemudian bermimpi lagi. Aku menerima resiko yang menyenangkan. Mimpiku sedikit demi sedikit terwujud, bahkan lebih indah dari apa yang telah aku bayangkan.
            Diawali dari pagi yang dingin di kampus, aku melihat pengumuan lomba khitobah bahasa arab. Aku tanpa ragu mendaftar, menjadi pendaftar pertama. Salah seorang panitia bertanya darimana aku, dan aku menjawab. Bertanya lulus dari mana, aku menjawab. Wajah panitia ini mulai meragukanku, aku memang bukan lulusan pondok terkenal atau MAPK dengan kemampuan berbahasa yang tak diragukan, aku hanya lulusan MAN tanpa embel-embel, tapi aku bangga. Dia bertanya lagi apakah aku pernah nyantri, aku menjawab tidak. Hal itu semakin membuat panitia itu ragu. Terserahlah. Niatku membuka pintu kesempatan, bukan pamer ke panitia itu ataupun orang lain.
            Hari perlombaan dimulai, dan aku menjadi peserta ke 13 yang tampil. Seperti biasa, aku mengerahkan segenap kemampuanku, dan singkat cerita aku berhasil menyabet gelar juara. Tanpa aku sangka, juri-juri terkesan dengan penampilanku. Tak lama berselang setelah kemenanganku itu, aku tiba-tiba dihubungi oleh seseorang yang aku tidak kenal, seorang yang belakangan ku ketahui bahwa ia adalah ketua salah satu UKM di kampus, ia memintaku lomba ke Jogja, katanya aku direkomendasikan oleh juri khitobah tadi. Benar-benar indah takdir Allaah. Di Salatigapun, aku diberi anugerah dan kesempatan yang luar biasa. Tidak main-main, di Jogja aku mengikuti lomba tingkat nasional. Banyak sekali pengalaman yang aku dapat. Berteman dengan banyak mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia, menyenangkan sekali.
            Pintu kesempatan yang aku buka semakin lebar. Aku semakin punya banyak kesempatan untuk keliling Jawa. Aku kemudian pergi ke Solo, Jakarta. Aku hampir pergi ke Malang, tapi tidak jadi. Mungkin Allaah tahu aku punya maksud ‘tersembunyi’ jadi Ia tak mengizinkanku pergi ke Malang. Aku juga berkesempatan mengembangkan kemampuan bicaraku didepan banyak orang. Dosenku langsung yang memberi titah padaku untuk menjadi MC di acara yang lumayan besar, dan keterusan sampai sekarang. Aku juga diberi tugas MC oleh kakak seniorku, di acara dengan ribuan orang peserta. Dulu, aku pernah berkata dalam hati ketika aku menjadi peserta dalam acara yang serupa. “Hebat sekali Mbak dan Mas yang berani jadi MC di acara ini”, dan tidak lama lagi, aku yang akan berdiri di panggung itu, berbicara dengan berbagai bahasa di depan ribuan peserta. Aku sekarang sadar Mbak, yang terbaik menurut kia memang belum tentu yang terbaik menurut Allaah. Menurutku dulu, aku mampu berada di jalan yang lebih besar daripada ini, tapi ternyata, Allaah menempatkanku di jalan yang sempit karena Ia tahu aku mampu membuka jalan yang lebih besar daripada yang aku bayangkan sebelumnya. Mbak, aku beruntung berani bermimpi, aku beruntung pernah jatuh dan kemudian bangkit lagi. Aku bersyukur memiliki kehidupan di tempat ini, bertemu dengan orang-orang yang membagi kesempatannya padaku, percaya padaku  yang sebenarnya masih perlu banyak belajar.
*Gadis itu mengakhiri ceritanya padaku. Ada sebutir air yang menggantung di sudut matanya. Aku belajar banyak dari ceritanya. Tak menyerah pada keadaan, dan tetap semangat walau hasrat tak benar-benar tertambat. Benar-benar ada rahasia dibalik rahasia. Kurasa, ia telah lebih dewasa setelah menjadi mahasiswa setahun ini. Semoga kemudahan tetap menghampirinya, semoga jalan-jalan penuh rahmat mengiringi perjalanan panjangnya.