Saat itu, airmataku bercucuran membasahi pipi. Nada nada ketakutan
selalu mengalun dari setiap penjuru. Kegelisahan menikam dari berbagai
arah mata angin. Aku tenggelam di gelisah yang dalam, dalam lamunan
kelam bertabir ketakutan. Ingin aku bersandar dan mempertahankan impian,
namun aku harus tetap berdiri dengan kekuatanku dan berusaha keras
menautkan helai helai sayap untuk terbang, meski diserang takut dan
gelisah.
Kukira, tak kan ada yang datang, kukira, semua orang telah
sibuk berlomba menggapai impian mereka, kukira, mereka telah sanggup
berjalan sendiri tanpa ada ketakutan yang mendera. Semua perkiraanku
terpatahkan. Kau hadir dari semua arah mata angin dengan nyanyian merdu
yang menyirnakan ketakutan dan kegelisahan itu. -- kita punya impian,
dan kita akan bersama mengarungi samudra hidup yang pasti berombak, kita
akan terbang ke langit dan mengambil awan untuk oleh oleh pulang, kita
akan bergandeng tangan dan saling melindungi selama perjalanan ini --
kelingking kita tautkan, senyum kita sunggingkan, janji kita pegang,
janji kelingking : perlambang janji hati yang tersepuh kesetiaan dan
ketepatan yang nisbi.. meski agak kabur, tapi janji tetaplah janji, aku
masih sangat ingat, dan kuharap kaupun juga. =)
Janji Kelingking -03.90-
Dari Sebatang Ranting
Sabtu, 12 Oktober 2013
Prosa : Tarian Rembulan - Emha Ainun Nadjib
Prosa ini saya tulis lebih dari satu tahun yang lalu, tanggal 1 Oktober 2013.
Bukan merenung, bukan juga berpikir. Hanya menentramkan perasaan, menghampakan hati, & kosongkan jiwa. Hanya pandangi sang rembulan saja, temukan gemulai geraknya & betapa ia begitu mahir menyesuaikan diri dengan irama alam. Cobalah ikuti, putarlah terlbih dulu pada poros tempatmu berdiri, lalu melangkahlah berkeliling ranting-ranting pohon yang menengadah itu. Menarilah, bersama rembulan.
Irama alam itu, sayup sayup semerdu tabuhan gendang yang di padu petikan mandolin, serta para bambu yang telah berubah menjadi seruling tertiup...dengarlah, & teruslah menari. Berkeliling kebun, pedesaan, perkotaan, pulau-pulau, negeri-negeri, bulatan bumi, kemudian matahari. Teruskan tarianmu, sampai kau mengelilingi galaksi, hingga ke maha galaksi.
Bagaimanakah? Kau baru saja menjadi penampil pada festival cinta... Ukurlah tarianmu, lebih indahkah dari tarian rembulan? Setiap putaran, ia menari tujuh lapis gerakan sekaligus : tarian tujuh lapis langit. Begitulah, rembulan yang beku kering itu bekerja amat keras, dengan kodrat tanpa memiliki sifat malas, ia bahkan tidak diizinkan untuk terlambat satu detikpun, atau sistem kosmos akan jadi tidak karuan. Betapa setianya ia, rembulan sang penari, yang tak pernah meninggalkan bumi, bahkan ia tiada mungkin bergeser sejengkalpun dari titik keberadaanya, dari titik koordinat langit..
Dikembangkan dari puisi Tarian Rembulan buah karya Emha Ainun Nadjib (Trilogi Doa Mencabut Kutukan, Tarian Rembulan, Kenduri Cinta)
Prosa : Tarian Rembulan - Emha Ainun Nadjib
October 1, 2012 at 7:53pm
Malam
datang dengan membawa serta kesunyian. Kota telah terlelap, hanya lampu
lampu jalan serta kunang-kunang di tepi sungai yang membungkusnya
dengan keremangan. Sejenak, para manusia dapat melenakan dirinya
diantara terpaan angin malam, menanggalkan beban & isi pikiran,
menaruh cita-cita, hutang, maupun tugas serta pekerjaan. Langkahkan kaki
sebentar ke bawah hamparan kerajaan langit, & pandangi rembulan
yang menyuguhkan tarian.Bukan merenung, bukan juga berpikir. Hanya menentramkan perasaan, menghampakan hati, & kosongkan jiwa. Hanya pandangi sang rembulan saja, temukan gemulai geraknya & betapa ia begitu mahir menyesuaikan diri dengan irama alam. Cobalah ikuti, putarlah terlbih dulu pada poros tempatmu berdiri, lalu melangkahlah berkeliling ranting-ranting pohon yang menengadah itu. Menarilah, bersama rembulan.
Irama alam itu, sayup sayup semerdu tabuhan gendang yang di padu petikan mandolin, serta para bambu yang telah berubah menjadi seruling tertiup...dengarlah, & teruslah menari. Berkeliling kebun, pedesaan, perkotaan, pulau-pulau, negeri-negeri, bulatan bumi, kemudian matahari. Teruskan tarianmu, sampai kau mengelilingi galaksi, hingga ke maha galaksi.
Bagaimanakah? Kau baru saja menjadi penampil pada festival cinta... Ukurlah tarianmu, lebih indahkah dari tarian rembulan? Setiap putaran, ia menari tujuh lapis gerakan sekaligus : tarian tujuh lapis langit. Begitulah, rembulan yang beku kering itu bekerja amat keras, dengan kodrat tanpa memiliki sifat malas, ia bahkan tidak diizinkan untuk terlambat satu detikpun, atau sistem kosmos akan jadi tidak karuan. Betapa setianya ia, rembulan sang penari, yang tak pernah meninggalkan bumi, bahkan ia tiada mungkin bergeser sejengkalpun dari titik keberadaanya, dari titik koordinat langit..
Dikembangkan dari puisi Tarian Rembulan buah karya Emha Ainun Nadjib (Trilogi Doa Mencabut Kutukan, Tarian Rembulan, Kenduri Cinta)
Di Bawah Langitku Kini
Wahai jiwa, kukatakan padamu tentang kerelaan
Sesuatu yang mungkin belum kau mengerti dulu
Saat dalam malammu, kerajaan langit dan para gemintang melukiskan wajahnya
Saat kau memandangnya, serasa jarak kecepatan cahaya menjadi berjengkal saja
Wahai jiwa, penyadaranmu kini penuh mengecewakan
Karena jauh tetap saja jauh
Sementara perasaanmu kau raba saja tiada kuasa
Jangan kau bertahan menyatakan yang jelas-jelas fana
Dalam bunga yang kau paksa mengindahkanya
Meski kering dan berbau busuk tetap saja kau bilang cantik dan mewangi
Bukan itu harusnya yang kau yakini
Dari langit ke langit, binar-binar hangat tersenyum padamu
Membuka perlahan jiwa yang tersilaukan
Sambutlah, dan kerelaan akan menyertai
Tiadakan kesusahan, karena kau menggenggam keberhakan
Songsong dan peluk ia kuat-kuat
Kau berhak, lakukanlah
Tersenyumlah kau terpautkan kasih sayang
Kini, wahai jiwa.. Kau telah ada dibawah langitmu sendiri
Sesuatu yang mungkin belum kau mengerti dulu
Saat dalam malammu, kerajaan langit dan para gemintang melukiskan wajahnya
Saat kau memandangnya, serasa jarak kecepatan cahaya menjadi berjengkal saja
Wahai jiwa, penyadaranmu kini penuh mengecewakan
Karena jauh tetap saja jauh
Sementara perasaanmu kau raba saja tiada kuasa
Jangan kau bertahan menyatakan yang jelas-jelas fana
Dalam bunga yang kau paksa mengindahkanya
Meski kering dan berbau busuk tetap saja kau bilang cantik dan mewangi
Bukan itu harusnya yang kau yakini
Dari langit ke langit, binar-binar hangat tersenyum padamu
Membuka perlahan jiwa yang tersilaukan
Sambutlah, dan kerelaan akan menyertai
Tiadakan kesusahan, karena kau menggenggam keberhakan
Songsong dan peluk ia kuat-kuat
Kau berhak, lakukanlah
Tersenyumlah kau terpautkan kasih sayang
Kini, wahai jiwa.. Kau telah ada dibawah langitmu sendiri
Senin, 07 Oktober 2013
Sekeping Kenangan, Ajaib
Hasna pergi begitu saja. Cepat. Meninggalkan kenangan yang meluluh
lantahkan hatinya. Perih. Selalu seperti itu setiap ia kembali harus menyusuri
jalan-jalan yang dahulu menjadi jalan terindah di setiap harinya. Selain cinta,
mungkin hal yang ajaib adalah kenangan, ia dapat begitu manis di suatu waktu,
dan menjadi sangat pahit di waktu yang lain. Aku selalu bingung
membicarakan hal-hal yag ajaib seperti itu. Tapi Hasna, ia lebih bingung meniti
hidup dalam kungkungan kenangan yang serba kadang-kadang. Kadang-kadang manis
bak gula-gula, kadang-kadang pahit serasa obat sakit kepala.
Siang di musim penghujan, hujan turun
berjam-jam. Ia berteduh berjam-jam pula. Payung yang dibawanya tertinggal di
kantor sekolah. Ia sedang berada di teras pertokoan kala itu. Bayangan seseorang
yang ia kenang berkelebat mendebarkan. Ia membelalakkan matanya,
mengerjapkannya berkali-kali, lalu hilanglah bayangan itu.” Ampun.. aku
bodoh lagi. Live must go on, Hasna.” Hasna bermonolog lagi pada dirinya,
dengan monolog yang sama. Hasna segera memaksa dirinya untuk melupakan bayangan
yang berkelebat barusan. Ia alihkan pada rintik-rintik hujan yang mirip dengan Kristal.
Selalu menenangkan.
Satu jam ia berdiri di teras
pertokoan itu, ia tiba-tiba membodoh-bodohkan dirinya sendiri, sepuluh kali
lebih banyak daripada yang awal. Ia melihat sosok yang ia kenang tepat di
hadapannya, tersenyum padanya, melihatnya, bersitatap mata ke mata. Hatinya bagai
dihantam ombak kenangan, hatinya bagai tanah yang ingin longsor. “Benarkah? Benarkah
ia ada di hadapanku?” monolognya lagi. “Hai… Hasna…” kata orang itu, singkat. Seketika
itu, Hasna sadar dari lamunannya. “Haa..Hai…” Hasna terbata. Mata orang itu
benar-benar menenggelamkan Hasna pada perasaan yang sebenarnya belum hilang
meski mereka telah tidak bertemu selama empat tahun. Rasa itu datang lagi
menggelitik relung hatinya, menggoyahkan tekad move onnya. “Hasna, apa yang kau
pikirkan, apa yang kau rasakan?” hatinya berbisik.
***
Hasna berbunga-bunga hari ini. Kenangan
dan kenyataan seperti seiring sejalan bagi Hasna akhir-akhir ini. Pertemuannya dengan orang yang ia kenang
membawanya pada kenyataan. Bermula pada pertemuan yang disaksikan oleh beribu
air langit, perasaan Hasna yang empat tahun bersemayam di dinding jiwanya kini
dapat ia bagi dengan orang itu. Seminggu setelah hari itu, orang yang Hasna
kenang menyatakan rasanya juga pada Hasna. Rasa yang sama, mereka saling suka. Empat
tahun Hasna tidak sia-sia, dan memang tidak akan ada yang sia-sia selama mau
bersabar dan menjaganya.
Namun sayangnya, romansa mereka
harus terpisah jarak setelah sebulan mereka intens merekatkan rasa. Berbagi info
tentang diri mereka masing-masing. Berbagi deskripsi mengenai rasa yang telah
bertahta lama di jiwa. Airmata Hasna mengalir deras, bersaing dengan hujan yang
mengiringi perjalanan orang itu ke Kota Lain.
***
“Lili, aku benar-benar rindu. Namun
aku juga kecewa. Sangat. Dua bulan ia disana, tak ada kabar berita. Aku hubungi
a berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Ia seperti menghilang, Li. Seenaknya saja
menghempaskan hatiku. Sering aku berpikir, empat tahun merawat perasaan ini,
apakah tidak cukup?” airmata Hasna mengalir sangat deras saat ia bercerita
kepadaku. Pkilatan langit menambah sayatan luka di hatinya. “Lili, aku ingin
menyusulnya, menyusul Mas Adit.” Kata Hasna berapi-api, menghanguskan sakit di
hatinya. Baru aku tahu bahwa orang yang selama ini ia kenang bernama Adit. Aku mendukungnya.
Perasaan harus dijelaskan sejelas-jelasnya. Jika Adit tidak mau atau
tidak mampu menjelaskannya, maka haruslah Hasna yang mencarinya. Ini bukan
hanya perkara hati Adit, tapi juga hati Hasna.
***
Kota Lain sangat ramai. Dengan selembar
kertas beruliskan alamat, Hasna memberanikan dirinya mengitari Kota Lain ini. Ia
masih buta dengan arah kota ini. Lama ia berkitar, dari sisi satu ke sisi yang
lain. Dari sudut satu ke sudut yang lain. Setengah hari ia melalukan perjalanan
harap-harap cemas. Tak kunjung bertemu. Ia berjalan lagi, lama, dan lelah. Bertanya-tanya
kesana-kemari.
Tuhan menyayangi hamba-hambaNya yang
mau berjuang. Setelah seharian Hasna melewati gang-gang dan belokan-belokan,
iapun menemukan rumah Adit yang ternyata kosong. Bersama senja, ia memutuskan
untu menunggu Adit. Ia mencoba mengatur detak jantungnya senormal mungkin.
Lima belas menit duduk di bangku
kayu di depan rumah Adit, Hasna melihat Adit datang. Ya Adit benar-benar
datang. Datang bersama, bersama orang lain yang ia genggam tangannya. Adit
selingkuh. Hasna menyimpulkan kejadian yang barusan ia lihat. “Tidak, aku harus
mendengar penjelasannya dulu. Jangan emosi. Jiwaku, tenanglah, kuatlah,
sebentar saja.” Adit terbelalak melihat Hasna didepanya. Wanita yang disamping
Adit bertanya siapa Hasna, dan Adit kebingungan menjelaskan. “Dia, Hasna,
sahabatku dulu.” Kata-kata Adit yang langsung meremukkan hati Hasna. Airmata kembali
mengalir bak air langit yang turun. Ia remuk, ia redam, ia sakit, ia perih. Kesetiaannya
tercabik. Dengan airmata yang semakin menderas, Hasna tanpa pikir panjang meninggalkan lelaki yang mulai detik iu tidak
akn lagi menjadi kenangan indahnya. Nila setitik, rusak susu sebelanga. Begitulah
kira-kira.
(bersambung)
Siluet Sapaan Cinta di Segulir Perjalanan
Aku
masih SMA kala itu. Kala sebuah perasaan asing yang lebih asing dari pelajaran
logaritma. Perasaan yang aku tidak menemukan antonimnya. Jika sedih berantonim
senang, kecewa berantonim puas, lantas perasaan ini, apa namanya dan apa
antonimnya? Dan penelisikan-penelisikanku tentang rasa ini seperti memaksa
otakku mengulik betapa luarbiasanya perasaan ini. Ia bukan bahagia atau duka,
bukan pula kecewa dan perasaan getir semacamnya. Ia perasaan yang rumit namun
sederhana, perasaan yang lebih dari cukup untuk menghidupkan hidup.
Aku seperti tersedot dengan
lamunanku sendiri. Tiba-tiba aku melihat diriku yang masih berseragam abu-abu. Aku
dan sahabatku, Lala seperti biasa saat istirahat selalu menyempatkan diri untuk
shalat dhuha di masjid sekolah. Tapi hari itu, langkahku terhenti di aula
sekolah yang dipenuhi orang-orang tua. Mereka seperti sekumpulan guru yang
sedang rapat akbar, atau peserta penataran yang kompak berbaju batik. Aku yang
dewasa sontak mengingat kejadian itu. Aku merinding, dan satu persatu butiran
bening yang kubendung di balik mataku meleleh, mendobrak pertahanan hatiku. Aku
kembali memperhatikan aku yang kecil. Aku yang kecil dengan takut-takut
mengintip dari balik jendela yang tirainya sedikit tersibak. Aku melihat
seorang lelaki yang sedang duduk tenang diantara orang-orang yang berbaju
batik. Ia sempat menoleh ke arahku, dan debaran yang mengawali perasaan aneh
pertamakupun kualami jua.
Ia yang memandangku dari balik
kacamata minusnya sambil terduduk, lalu seperti ia tersenyum ke arahku namun
aku terlanjur tersengat dengan perasaan asing lebih memilih lari menghilang
darinya. Aku malu, dan berlari menyembunyikan rasa maluku. Di mushala, ditengah
curahan hatiku pada ilahi rabbi tentang perasaanku saat itu, sayup-sayup aku
mendengar kalam ilahi yang dibaca jernih, aku yakin itu ialah suara seorang
laki-laki. Aku yang sedang mencoba meraba makna perasaanku inipun terlarut
dengan lantunan kalam ilahi itu. Begitu damai rasanya, aliran-aliran air membentuk
sungai di hatiku yang baru saja seperti berada di luar angkasa, di negeri antah
berantah yang sama sekali tak ku kenali.
Aku yang dewasa masih menangis,
sungguh sebenarnya aku merindunya, rindu akan perjumpaan yang mengawali semua
kisahku tentang sebuah rasa yang belakangan ku ketahui, bahwa itu ternyata
segurat cinta yang menunjukkan sapaannya. Hatiku yang masih mungil tergelitik,
lebih-lebih setelah aku mengetahui bahwa sang pembaca Al-Qur’an tadi ialah
lelaki berkacamata minus yang kulihat dari balik jendela. Dari temanku, Lala
aku tahu bahwa namanya ialah Arham. Arham adalah kakak kelasku, 2 tahun lebih
tua dari aku. Ia terkenal ramah, dan menjadi aktivis di organisasi keislaman di
SMA. Mas Arham, begitulah akhwat di sekolah memanggilnya. Dengar-dengar ia juga
seorang hafidz, seorang yang sudah menghafal Al-Qur’an. Selanjutnya setelah aku
mengetahui sekelumit data dirinya, aku hanya mengaguminya. Aku hanya mengaguminya
dalam diam, dalam doa-doa yang kupanjatkan siang malam, dalam ketundukan dan
kuzuhudan untuk meredam rasa yang bisa jadi tipu daya syaitan. Semakin hari aku
mengetahui tentang dirinya, semakin keras aku berusaha menjadikan hatiku tetap
berada pada titik nol, dengan kepasrahan tertinggi. Aku beruntung, karena di
usiaku yang bahkan belum 17 tahun, aku dipertemukan dengan akhwat yang jauh
lebih dewasa dariku. Akhwat di pondok pesantren yang mayoritas sudah kuliah
semester 6. Aku menceritakan semuanya tentang kisahku, dan mereka menjadi pengerem
yang pakem tentang buncahan rasa yang tiba-tiba hadir merepotkanku itu.
“Banyak-banyaklah istighfar, Jauza”, begitulah kata Mbak Novi, senior di pondok
pesantren yang sudah ku anggap sebagai kakakku sendiri.
Dalam tangisku menyaksikan siluet
masa mudaku, aku kembali tersedot dalam lubang yang didalamnya seperti angin
yang bergulung-gulung, menerbangkanku menembus waktu dan mendaratkanku di
tempat yang sangat kurindukan. Masjid SMA lantai dua. Aku melihat aku yang
masih kecil berdiri bersandar di tiang masjid dekat tangga dan melayangkan
pandanganku menyapu seisi lantai satu masjid. Beberapa saat kemudian, aku kecil
menfokuskan pandanganku pada satu titik, sambil menundukkan badanku setinggi
pembatas untuk mengintai seseorang. Mas Arham. Obyek yang sedang aku intai saat
itu. Aku melihat Mas Arham sedang terduduk sambil terkantuk-kantuk. Sesekali
matanya terpejam, kepalanya terantuk ke depan, dan beberapa saat kemudian
kembali sadar. Ia sedang duduk sendiri kala itu, dan aku menahan ketawa
melihatnya. Mangantuk memang sudah terkenal sebagai kebiasaan seorang santri.
Akupun juga sering begitu, apalagi suasana masjid yang selalu menyejukkan
sangat mendukung rasa kantuk. Saat itu, aku masih diam-diam mengaguminya.
Hingga secara tidak sengaja, matanya yang baru saja tersadar menabrak mataku
yang masih asik memandangnya. Aku sempat beberapa detik tidak mampu
mengelebatkan pandanganku padanya, namun beberapa detik setelah itu, aku
kembali mampu berkuasa atas mataku lagi. Aku menenggelamkan diriku dibalik
pambatas masjid dan mangikuti kata-kata mbak Novi : beristighfar.
Aku yang dewasa geleng-geleng
sendiri melihat tingkahku kala itu. Sembari kuperhatikan diriku di masa lalu,
airmata menetes lagi dan lagi melihat Mas Arham yang sangat kurindukan. Aku
teringat betapa aku sangat ingin bicara dengannya, betapa aku sangat ingin
berjalan di sampingnya, namun Ilahi Rabbi berkehendak lain, dengan kehendak
yang lebih indah dan lebih kubutuhkan daripada keinginan kecilku itu.
Aku yang dewasa masih memandang
tingkahku yang kecil. Dalam kalimat-kalimat istighfar, aku kembali mengintai
Mas Arham, kali ini ia sudah tidak berjibaku melawan kantuknya, ia kini
menorehkan tinta di secarik kertas sambil sesekali menyunggingkan senyum dan
membetulkan letak kacamata minusnya. Dari jarak beberapa meter, Mas Arham
tampak seperti seorang pujangga yang sedang merangkai syair.
Lalu, aku yang dewasa dengan
tiba-tiba kembali tersedot dalam lorong yang tak kukenali. Aku seperti dibawa
untuk melintasi waktu, dan kembali mendarat di tempat yang aku sangat rindukan.
Aku melihat aku yang kecil tersenyum gembira di kursi bambu belakang sekolah.
Aku menggenggam secarik surat yang disertai kacamata minus yang begitu akrab
dengan mataku akhir-akhir ini.
Teruntuk Rajwa...
Dari balik jendela kaca yang tirainya sedikit
tersibak, dalam beberapa detik Allah seperti menyihirku lewat perantara
ciptaanNya yang mempesona, yaitu sepasang matamu. Teduh, dan tenang. Dan aku
sangat bersyukur dapat melihatnya beberapa waktu yang lalu. Di tempat ini, di
Masjid SMA kita yang sejuk ini, kembali aku melihat mata itu, beberapa kali
sedang memperhatikanku. Aku sempat tidak percaya tentang hal itu, tapi setelah pandangan
kita saling bertaut, aku mulai meyakinkan diriku untuk mempercayainya.
Maaf jika suratku ini mendebarkan hatimu. Ada satu
hal yang ingin aku ungkapkan padamu, bahwa sebenarnya tanpa kau ketahui, aku
sudah tahu namamu sesaat setelah mata indahmu menyusupkan sebuah debaran asing
di hatiku. Aku secara tidak sopan mencari tahu tentang dirimu. Dan aku semakin
ingin mengenalmu, secara langsung dari dirimu, maka dari itu, dengan kacamata yang
kutitipkan ini, mohon nanti sepulang sekolah menemuiku di kursi bambu belakang
sekolah, jikapun kau tidak berkenan bicara padaku, setidaknya tolong kembalikan
kacamataku yang kutitipkan ini.
Dari saya yang tidak
sopan Arham...
Saat itu, hatiku bagai terbang ke
angkasa raya, begitu bahagia. Dan, dengan sabar aku menunggunya di tempat ini,
di kursi bambu belakang sekolah. Aku melihat aku yang kecikl sedang memandang
guguran daun kuning yang berjatuhan disekitarku. Matahari masih terik karena
barusaja waktu pulang sekolah tiba. Beberapa menit aku menunggunya, telepon
genggam yang kutaruh di saku rok abu-abu bergetar. Lala, sahabat baikku
menelepon. Dari seberang, terdengar suaranya sendu. Ia sedang mengalami
kesedihan yang mendalam, begitulah kesimpulanku.
“Jauza, kamu mau ikut ta’ziyah ke
rumahnya Mas Arham tidak? Kalau ikut, sekalian saja sama anak-anak rohis,
sekarang ya ditunggu di depan masjid SMA”, kata Lala tanpa spasi sesaat setelah
aku menjawab salamnya.“Siapa yang meninggal La? Sebenarnya sekarang aku sedang
di bangku bambu belakang sekolah menunggu Mas Arham”, kataku mulai
gundah.“Astaghfirullah, kamu menungggu Mas Arham? Mas Arham, Jauza... Mas Arham
barusaja kecelakaan di tikungan samping sekolah dan langsung meninggal di
temapat...”, katanya lirih.
Aku yang dewasa menangis untuk
kesekian kalinya. Aku mengiringi tangis yang tertahan dari aku yang kecil.
Ingin sekali aku menopang langkah kecilku yang tergopoh menuju sekolah,
melewati tikungan samping sekolah yang masih mencekam dengan percikan darah,
juga orang-orang yang menyaksikan kejadian itu. Disisi kanan jalan, sebuah truk
terjungkal dengan kaca-kaca yang pecah berserakan, juga ada bekas ban yang
terseret di samping kiri truk itu. Sedikit tergambar apa yang barusaja terjadi
disana. Sebuah kecelakaan yang mematikan, dan korbannya, ah...aku tidak sanggup
menyebutnya.
Aku yang dewasa tak mampu lagi
berdiri, aku jatuh terjongkok dan seperti tidak sadarkan diri. Lalu ketika aku
sadar, aku sudah berada di kamarku lagi. Dengan sosokku yang sudah dewasa,
dengan ayah dan ibuku tertidur terduduk di sampingku. Dan tubuhku sepertinya
menjadi magnet untukku. Aku kembali disatukan dengan tubuhku setelah aku
menembus perjalanan waktu. Aku tertidur, lama, dan aku melihatnya. Aku melihat
Mas Arham dan diriku berada pada ruangan yang serba putih. Aku memakai seragam
putih abu-abu, seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya, dan iapun juga
berseragam putih abu-abu, sama seperti aku.
Matanya yang menenangkan itu
menatapku dalam, perlahan ia mendekatiku yang mematung di hadapannya, lalu ia
berkata lembut, “Jauza, maafkan aku yang akhirnnya hanya mampu membuatmu
meneteskan kristal bening dari mata indahmu ini. Aku bahkan tidak sempat
menemuimu di bangku bambu belakang sekolah, padahal aku yang menyuruhmu
terlebih dahulu pergi kesana. Ketahuilah Jauza, aku ingin sekali membuatmu
tersenyum saat itu. aku membayangkan matamu yang tiba-tiba tertuduk malu
menyambut aku datang saat itu. Tapi, Allah bertakdir lain. Aku mendahuluimu melewati
pintu langit. Menjauh dan menjauh tanpa aku mampu menghindarinya. Dan kacamata
minusku yang masih kau simpan bahkan setelah tujuh tahun berlalu itu membuatku
mempunyai alasan untuk kembali menemuimu. Allah Maha Baik, dan lewat perjumpaan
ini, aku ingin kau bertahan, dan meniti jalan hidupmu di dunia sana. Banyak hal
yang bisa kau lakukan namun belum sempat kau lakukan disana, anak-anak didikmu
di sekolah, orangtuamu yang kini sedang menungguimu, dan calon suamimu, Mufti
yang harus kau sandarkan namanya di bawah nama Allah dan Rasulullah.
K-e-m-b-a-l-i-l-a-h, Jauza. Aku bahkan belum mengawali perjumpaan kita dengan
salam, dan kini di ujung perjumpaan kita ini, aku ingin mengucapkannya untukmu,
tulus dengan segenap ketulusan di hatiku. Sampai berjumpa kelak Jauza,
Wassalaamu’alaikum..,” lalu semua menjadi putih kembali.
Tiba-tiba, aku mampu membuka mata
yang menyatu dengan ragaku, Ibuku yang berwajah sayu karena lelah menungguku
bersyukur seraya memelukku, menyebut namaku dan memuji kebesaran Allah secara
bergantian. Aku yang lemah didekapnya erat-erat. Beberapa menit kemudian, Mas
Mufti datang dari balik pintu, mengucap salam dan terkejut melihatku sudah
sadar. Ia tersenyum tipis, mirip dengan senyum Mas Arham. Akupun tersenyum,
Allah masih memberiku kesempatan. Kecelakaan yang kualami tempo hari tidak
menjadi perpanjangan tangan Allah untuk menjemput ruhku menghadapNya. Dalam
hati aku berkata lirih “Alhamdulillaah...aku selamat”.
Minggu, 06 Oktober 2013
Lima Menit
Selalu
ada setidaknya lima menit menyenangkan dalam malamku, lima menit saat ia
memperdengarkan suaranya dari seberang, lima menit saat ia menanyakan kabar
keadaanku, lima menit saat ia bertanya bagaimana kondisi rasa dan hatiku, lima
menit saat ia menjawab apa yang aku tanyakan padanya. Lima menit yang
menyenangkan, yang tidak mungkin luput untuk aku syukuri dalam setiap sujud
subuhku beberapa jam setelahnya.
Embun-embun pagi merangsek ke
ujung-ujung daun, langit menerang, mentari malu-malu muncul. Ibuku yang selalu
berhati malaikat membangunkanku. Aku masih bermukena, aku tak sengaja tertidur
setelah dengan setengah sadar menunaikan sahalat subuh. Aku memang selalu
begitu. Suaranya yang hanya lima menit ku dengar itu selalu menyirnakan rasa kantukku,
dan menghadirkannya kembali di fajar yang dingin. Tapi tiada mengapa, rasanya
masih tetap menyenangkan.
Kembali Ibu menungguku di meja
makan, kebiasaan kami memang, setelah Ayah meninggal dua tahun silam, Ibu tidak
pernah membiarkanku makan sendirian. Ia tersenyum padaku, senyum malaikat.
Seperti biasa, aku mencium Ibuku terlebih dahulu, Ibu tampak cantik dengan
jilbab coklat yang dibelikan almarhum ayah dulu. Kami makan, sebagaimana
lazimnya. Masakan Ibu tetap enak, mungkin ini salah satu hal yang membuat ayah
jatuh cinta dulunya. Minggu pagi yang selalu membahagiakan, bersama Ibuku.
Di sofa ruang tengah, aku melihat
Ibu mebuka-buka album kenangan kami dulu. Ketika keluarga kami masih lengkap.
Ibu, Ayah, dan aku. Aku anak tunggal, tidak punya saudara kandung. Ibu juga
anak tunggal. Ayah tiga bersaudara, paman-pamanku merantau ke negeri seberang,
sementara kami menetap di negeri kami sendiri, negeri yang katanya makmur
sentosa ini. Ibu menoleh dan tersenyum padaku, pandangan Ibu sayu, sedikit
basah di ujung-ujungnya. Aku duduk disamping Ibu, meminta Ibu mengelusku manja.
“Ibu, sebesar apa kerinduan Ibu
terhadap Ayah?”
Ibu tersenyum, senyum malaikat. “Ibu
tidak tahu, mungkin tidak terlalu besar.”
Aku tersentak. Alisku menyambung. Mengapa
begitu?
“Kerinduan Ibu selalu luruh ketika Ibu membuka kembali
kenangan-kenangan itu. Bagi Ibu, selama Ibu masih memiliki kenangan itu,
kenangan yang baik ataupun kenangan yang buruk, Ibu akan bisa kuat meredam
rindu Ibu pada Ayahmu. Nak, kenangan itu, selain hal yang ampuh untuk
menyatukan hati yang sudah retak, juga ampuh sebagai peredam rindu yang
terkadang menggebu tak tertahankan.”
“Walau dengan airmata?”, aku
bertanya lagi.
Ibu memeluk erat diriku. Hangat
sekali. “Nak, di kehidupan yang luas ini, tidak semua yang terlihat bisa
ditafsirkan sebagaimana lazimnya. Ketika airmata identik dengan kesedihan,
kehilangan, atau perpisahan, tidak serta merta kau boleh menafsirkan secara
mutlak bahwa airmata adalah pertanda hal-hal yang menyedihkan tersebut. Airmata
Ibu tadi adalah airmata bahagia. Wujud kesyukuran Ibu yang teramat tulus. Ibu
menangis karena Ibu rasa Tuhan begitu baik dengan Ibu, mengizinkan Ibu
menyimpan kenangan-kenangan itu dengan rapi dan utuh. Membahagiakan sekali
bukan?”
Aku beranjak dari pelukan Ibu.
Kutatap wajahnya yang elok menenangkan. Garis-garis wajahnya sudah terlihat.
Ibuku sudah semakin tua, sebagaimana juga aku yang sudah semakin dewasa. Melihat
Ibu yang seperti ini, airmataku mendesak, ingin keluar. Korneaku basah,
beberapa menit kemudian, basah juga pipiku. Aku gantian yang memeluk erat Ibu. Semoga
waktu akan menjembataniku untuk menjadi seseorang yang seperti Ibu. Berhati
malaikat, memiliki senyum malaikat. Mulia sekali.
###
Malam, kerajaan langit memamerkan
pasukan bintang gemintangnya. Semuanya tumpah ruah mengitari permaisuri bulan
yang kala itu hanya menampakkan dirinya serupa senyum. Melengkung setengah
lingkaran. Dalam sujud malamku, aku bertanya pada Tuhan. Apakah Ibu dan Ayah
saling merindukan, Tuhan? Berpisah dengan jarak yang lebih dari ribuan
kilometer cahaya, bahkan jarak yang tiada terbatas, benarkah Ibu tidak terlalu
merindukan Ayah? Ataukah karena terlalu merindukan Ayah, Ibu hingga tak mampu
mendeskripsikan kerinduannya itu? Benarkah airmata Ibu adalah airmata syukur,
airmata bahagia? Entahlah, aku belum mendapatkan jawaban atas
perkara-perkara itu. Tapi aku percaya pada Ibu. Aku yakin ia bahagia, sebesar
apapun desakan kerinduan yang mengganggu hatinya. Ibu masih memilikiku. Aku
yang siap menjadi pelipur laranya, pengusir rasa sepinya.
Pukul 00.01, selamat datang hari
Senin. Selamat datang lima menit yang menyenangkan. Telfon genggamku berbunyi. Pasti
dia. Benar saja, namanya terlihat di layar telfon. Seperti biasa, lima menit
masih sangat menyenangkan. Lima menit saat ia memperdengarkan suaranya dari
seberang, lima menit saat ia menanyakan kabar keadaanku, lima menit saat ia
bertanya bagaimana kondisi rasa dan hatiku, lima menit saat ia menjawab apa
yang aku tanyakan padanya. Lima menit yang menyenangkan, yang tidak mungkin
luput untuk aku syukuri dalam setiap sujud subuhku beberapa jam setelahnya.
Di akhir pembicaraan kami, aku
berkata padanya “Aku bersyukur, aku bersyukur ada lima menit yang menyenangkan
dari 24 jam hariku. Inilah kenangan kita, yang akan merekatkan rangkaian kisah
kita. Kata Ibu, kenangan, selain hal yang ampuh untuk menyatukan hati yang
sudah retak, juga ampuh sebagai peredam rindu yang terkadang menggebu tak
tertahankan. Indah bukan?” Dia mengiyakan dari seberang sana, pertanda setuju.
Pemahaman baruku. Pemahaman barunya juga. Kenanganku, lima menit menyenagkan
kami, lima menit menyenangkan yang akan terus kami jaga sampai masa yang kami
tidak bisa kami prediksi, yang akan kami kenang sebagai masa indah yang telah
terlewati suatu saat nanti.
Sang Pembuka Kesempatan
*Ini kisah seorang gadis pemimpi. Gadis yang tak jarang mengalami jatuh dalam perjuangannya, gadis yang harus berlari guna mewujudkan ambisinya. Ia telah berkali-kali mengubur mimpinya, untuk kemudian menghidupkan mimpi yang lain lagi. baginya, mewujudkan mimpi itu susah, lelah. Tapi, karena mimpi itu menghidupkan, mana mau ia berhenti, meski sayapnya harus patah, ia akan terus terbang, tetap terbang.
Di
suatu siang yang sejuk, ia bercerita padaku.
Mbak,
dulu, sewaktu akhirnya aku harus tetap kuliah di Salatiga, aku pernah sangat
merasa ketakutan. Aku takut tak bisa melihat dunia diluar sana. Sebenarnya, aku
ingin belajar di dunia yang maha luas, mengerti seperti apa rintangan diluar
sana, kemudian berusaha melewatinya. Aku bercerita pada seorang teman, teman yang
memotivasiku utnuk menjadi lebih baik lagi, dan ia bilang “Bukan berarti di
Salatiga, kau tak bisa melihat dunia. Buktikanlah, kau selalu berbeda di
mataku. Kau pasti bisa membuka pintu untuk keluar sana. Aku percaya”. Ia dengan
yakin mengatakan hal itu padaku, Mbak.. dan hal itu membuatku semangat. Ya, aku
menghidupkan mimpi baru, aku bertekad akan membuka pintuku untuk melihat dunia.
Ajaib
Mbak. Berani bermimpi berarti berani menerima resiko dari mimpi itu : Terwujud,
atau terkubur untuk kemudian bermimpi lagi. Aku menerima resiko yang
menyenangkan. Mimpiku sedikit demi sedikit terwujud, bahkan lebih indah dari
apa yang telah aku bayangkan.
Diawali
dari pagi yang dingin di kampus, aku melihat pengumuan lomba khitobah bahasa
arab. Aku tanpa ragu mendaftar, menjadi pendaftar pertama. Salah seorang
panitia bertanya darimana aku, dan aku menjawab. Bertanya lulus dari mana, aku
menjawab. Wajah panitia ini mulai meragukanku, aku memang bukan lulusan pondok
terkenal atau MAPK dengan kemampuan berbahasa yang tak diragukan, aku hanya
lulusan MAN tanpa embel-embel, tapi aku bangga. Dia bertanya lagi apakah aku
pernah nyantri, aku menjawab tidak. Hal itu semakin membuat panitia itu ragu.
Terserahlah. Niatku membuka pintu kesempatan, bukan pamer ke panitia itu
ataupun orang lain.
Hari
perlombaan dimulai, dan aku menjadi peserta ke 13 yang tampil. Seperti biasa,
aku mengerahkan segenap kemampuanku, dan singkat cerita aku berhasil menyabet
gelar juara. Tanpa aku sangka, juri-juri terkesan dengan penampilanku. Tak lama
berselang setelah kemenanganku itu, aku tiba-tiba dihubungi oleh seseorang yang
aku tidak kenal, seorang yang belakangan ku ketahui bahwa ia adalah ketua salah
satu UKM di kampus, ia memintaku lomba ke Jogja, katanya aku direkomendasikan
oleh juri khitobah tadi. Benar-benar indah takdir Allaah. Di Salatigapun, aku
diberi anugerah dan kesempatan yang luar biasa. Tidak main-main, di Jogja aku
mengikuti lomba tingkat nasional. Banyak sekali pengalaman yang aku dapat.
Berteman dengan banyak mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia,
menyenangkan sekali.
Pintu
kesempatan yang aku buka semakin lebar. Aku semakin punya banyak kesempatan
untuk keliling Jawa. Aku kemudian pergi ke Solo, Jakarta. Aku hampir pergi ke
Malang, tapi tidak jadi. Mungkin Allaah tahu aku punya maksud ‘tersembunyi’
jadi Ia tak mengizinkanku pergi ke Malang. Aku juga berkesempatan mengembangkan
kemampuan bicaraku didepan banyak orang. Dosenku langsung yang memberi titah
padaku untuk menjadi MC di acara yang lumayan besar, dan keterusan sampai
sekarang. Aku juga diberi tugas MC oleh kakak seniorku, di acara dengan ribuan
orang peserta. Dulu, aku pernah berkata dalam hati ketika aku menjadi peserta
dalam acara yang serupa. “Hebat sekali Mbak dan Mas yang berani jadi MC di
acara ini”, dan tidak lama lagi, aku yang akan berdiri di panggung itu,
berbicara dengan berbagai bahasa di depan ribuan peserta. Aku sekarang sadar
Mbak, yang terbaik menurut kia memang belum tentu yang terbaik menurut Allaah. Menurutku
dulu, aku mampu berada di jalan yang lebih besar daripada ini, tapi ternyata,
Allaah menempatkanku di jalan yang sempit karena Ia tahu aku mampu membuka
jalan yang lebih besar daripada yang aku bayangkan sebelumnya. Mbak, aku
beruntung berani bermimpi, aku beruntung pernah jatuh dan kemudian bangkit
lagi. Aku bersyukur memiliki kehidupan di tempat ini, bertemu dengan
orang-orang yang membagi kesempatannya padaku, percaya padaku yang sebenarnya masih perlu banyak belajar.
*Gadis itu mengakhiri ceritanya padaku. Ada sebutir
air yang menggantung di sudut matanya. Aku belajar banyak dari ceritanya. Tak
menyerah pada keadaan, dan tetap semangat walau hasrat tak benar-benar
tertambat. Benar-benar ada rahasia dibalik rahasia. Kurasa, ia telah lebih
dewasa setelah menjadi mahasiswa setahun ini. Semoga kemudahan tetap
menghampirinya, semoga jalan-jalan penuh rahmat mengiringi perjalanan
panjangnya.
Langganan:
Postingan (Atom)