Aku
masih SMA kala itu. Kala sebuah perasaan asing yang lebih asing dari pelajaran
logaritma. Perasaan yang aku tidak menemukan antonimnya. Jika sedih berantonim
senang, kecewa berantonim puas, lantas perasaan ini, apa namanya dan apa
antonimnya? Dan penelisikan-penelisikanku tentang rasa ini seperti memaksa
otakku mengulik betapa luarbiasanya perasaan ini. Ia bukan bahagia atau duka,
bukan pula kecewa dan perasaan getir semacamnya. Ia perasaan yang rumit namun
sederhana, perasaan yang lebih dari cukup untuk menghidupkan hidup.
Aku seperti tersedot dengan
lamunanku sendiri. Tiba-tiba aku melihat diriku yang masih berseragam abu-abu. Aku
dan sahabatku, Lala seperti biasa saat istirahat selalu menyempatkan diri untuk
shalat dhuha di masjid sekolah. Tapi hari itu, langkahku terhenti di aula
sekolah yang dipenuhi orang-orang tua. Mereka seperti sekumpulan guru yang
sedang rapat akbar, atau peserta penataran yang kompak berbaju batik. Aku yang
dewasa sontak mengingat kejadian itu. Aku merinding, dan satu persatu butiran
bening yang kubendung di balik mataku meleleh, mendobrak pertahanan hatiku. Aku
kembali memperhatikan aku yang kecil. Aku yang kecil dengan takut-takut
mengintip dari balik jendela yang tirainya sedikit tersibak. Aku melihat
seorang lelaki yang sedang duduk tenang diantara orang-orang yang berbaju
batik. Ia sempat menoleh ke arahku, dan debaran yang mengawali perasaan aneh
pertamakupun kualami jua.
Ia yang memandangku dari balik
kacamata minusnya sambil terduduk, lalu seperti ia tersenyum ke arahku namun
aku terlanjur tersengat dengan perasaan asing lebih memilih lari menghilang
darinya. Aku malu, dan berlari menyembunyikan rasa maluku. Di mushala, ditengah
curahan hatiku pada ilahi rabbi tentang perasaanku saat itu, sayup-sayup aku
mendengar kalam ilahi yang dibaca jernih, aku yakin itu ialah suara seorang
laki-laki. Aku yang sedang mencoba meraba makna perasaanku inipun terlarut
dengan lantunan kalam ilahi itu. Begitu damai rasanya, aliran-aliran air membentuk
sungai di hatiku yang baru saja seperti berada di luar angkasa, di negeri antah
berantah yang sama sekali tak ku kenali.
Aku yang dewasa masih menangis,
sungguh sebenarnya aku merindunya, rindu akan perjumpaan yang mengawali semua
kisahku tentang sebuah rasa yang belakangan ku ketahui, bahwa itu ternyata
segurat cinta yang menunjukkan sapaannya. Hatiku yang masih mungil tergelitik,
lebih-lebih setelah aku mengetahui bahwa sang pembaca Al-Qur’an tadi ialah
lelaki berkacamata minus yang kulihat dari balik jendela. Dari temanku, Lala
aku tahu bahwa namanya ialah Arham. Arham adalah kakak kelasku, 2 tahun lebih
tua dari aku. Ia terkenal ramah, dan menjadi aktivis di organisasi keislaman di
SMA. Mas Arham, begitulah akhwat di sekolah memanggilnya. Dengar-dengar ia juga
seorang hafidz, seorang yang sudah menghafal Al-Qur’an. Selanjutnya setelah aku
mengetahui sekelumit data dirinya, aku hanya mengaguminya. Aku hanya mengaguminya
dalam diam, dalam doa-doa yang kupanjatkan siang malam, dalam ketundukan dan
kuzuhudan untuk meredam rasa yang bisa jadi tipu daya syaitan. Semakin hari aku
mengetahui tentang dirinya, semakin keras aku berusaha menjadikan hatiku tetap
berada pada titik nol, dengan kepasrahan tertinggi. Aku beruntung, karena di
usiaku yang bahkan belum 17 tahun, aku dipertemukan dengan akhwat yang jauh
lebih dewasa dariku. Akhwat di pondok pesantren yang mayoritas sudah kuliah
semester 6. Aku menceritakan semuanya tentang kisahku, dan mereka menjadi pengerem
yang pakem tentang buncahan rasa yang tiba-tiba hadir merepotkanku itu.
“Banyak-banyaklah istighfar, Jauza”, begitulah kata Mbak Novi, senior di pondok
pesantren yang sudah ku anggap sebagai kakakku sendiri.
Dalam tangisku menyaksikan siluet
masa mudaku, aku kembali tersedot dalam lubang yang didalamnya seperti angin
yang bergulung-gulung, menerbangkanku menembus waktu dan mendaratkanku di
tempat yang sangat kurindukan. Masjid SMA lantai dua. Aku melihat aku yang
masih kecil berdiri bersandar di tiang masjid dekat tangga dan melayangkan
pandanganku menyapu seisi lantai satu masjid. Beberapa saat kemudian, aku kecil
menfokuskan pandanganku pada satu titik, sambil menundukkan badanku setinggi
pembatas untuk mengintai seseorang. Mas Arham. Obyek yang sedang aku intai saat
itu. Aku melihat Mas Arham sedang terduduk sambil terkantuk-kantuk. Sesekali
matanya terpejam, kepalanya terantuk ke depan, dan beberapa saat kemudian
kembali sadar. Ia sedang duduk sendiri kala itu, dan aku menahan ketawa
melihatnya. Mangantuk memang sudah terkenal sebagai kebiasaan seorang santri.
Akupun juga sering begitu, apalagi suasana masjid yang selalu menyejukkan
sangat mendukung rasa kantuk. Saat itu, aku masih diam-diam mengaguminya.
Hingga secara tidak sengaja, matanya yang baru saja tersadar menabrak mataku
yang masih asik memandangnya. Aku sempat beberapa detik tidak mampu
mengelebatkan pandanganku padanya, namun beberapa detik setelah itu, aku
kembali mampu berkuasa atas mataku lagi. Aku menenggelamkan diriku dibalik
pambatas masjid dan mangikuti kata-kata mbak Novi : beristighfar.
Aku yang dewasa geleng-geleng
sendiri melihat tingkahku kala itu. Sembari kuperhatikan diriku di masa lalu,
airmata menetes lagi dan lagi melihat Mas Arham yang sangat kurindukan. Aku
teringat betapa aku sangat ingin bicara dengannya, betapa aku sangat ingin
berjalan di sampingnya, namun Ilahi Rabbi berkehendak lain, dengan kehendak
yang lebih indah dan lebih kubutuhkan daripada keinginan kecilku itu.
Aku yang dewasa masih memandang
tingkahku yang kecil. Dalam kalimat-kalimat istighfar, aku kembali mengintai
Mas Arham, kali ini ia sudah tidak berjibaku melawan kantuknya, ia kini
menorehkan tinta di secarik kertas sambil sesekali menyunggingkan senyum dan
membetulkan letak kacamata minusnya. Dari jarak beberapa meter, Mas Arham
tampak seperti seorang pujangga yang sedang merangkai syair.
Lalu, aku yang dewasa dengan
tiba-tiba kembali tersedot dalam lorong yang tak kukenali. Aku seperti dibawa
untuk melintasi waktu, dan kembali mendarat di tempat yang aku sangat rindukan.
Aku melihat aku yang kecil tersenyum gembira di kursi bambu belakang sekolah.
Aku menggenggam secarik surat yang disertai kacamata minus yang begitu akrab
dengan mataku akhir-akhir ini.
Teruntuk Rajwa...
Dari balik jendela kaca yang tirainya sedikit
tersibak, dalam beberapa detik Allah seperti menyihirku lewat perantara
ciptaanNya yang mempesona, yaitu sepasang matamu. Teduh, dan tenang. Dan aku
sangat bersyukur dapat melihatnya beberapa waktu yang lalu. Di tempat ini, di
Masjid SMA kita yang sejuk ini, kembali aku melihat mata itu, beberapa kali
sedang memperhatikanku. Aku sempat tidak percaya tentang hal itu, tapi setelah pandangan
kita saling bertaut, aku mulai meyakinkan diriku untuk mempercayainya.
Maaf jika suratku ini mendebarkan hatimu. Ada satu
hal yang ingin aku ungkapkan padamu, bahwa sebenarnya tanpa kau ketahui, aku
sudah tahu namamu sesaat setelah mata indahmu menyusupkan sebuah debaran asing
di hatiku. Aku secara tidak sopan mencari tahu tentang dirimu. Dan aku semakin
ingin mengenalmu, secara langsung dari dirimu, maka dari itu, dengan kacamata yang
kutitipkan ini, mohon nanti sepulang sekolah menemuiku di kursi bambu belakang
sekolah, jikapun kau tidak berkenan bicara padaku, setidaknya tolong kembalikan
kacamataku yang kutitipkan ini.
Dari saya yang tidak
sopan Arham...
Saat itu, hatiku bagai terbang ke
angkasa raya, begitu bahagia. Dan, dengan sabar aku menunggunya di tempat ini,
di kursi bambu belakang sekolah. Aku melihat aku yang kecikl sedang memandang
guguran daun kuning yang berjatuhan disekitarku. Matahari masih terik karena
barusaja waktu pulang sekolah tiba. Beberapa menit aku menunggunya, telepon
genggam yang kutaruh di saku rok abu-abu bergetar. Lala, sahabat baikku
menelepon. Dari seberang, terdengar suaranya sendu. Ia sedang mengalami
kesedihan yang mendalam, begitulah kesimpulanku.
“Jauza, kamu mau ikut ta’ziyah ke
rumahnya Mas Arham tidak? Kalau ikut, sekalian saja sama anak-anak rohis,
sekarang ya ditunggu di depan masjid SMA”, kata Lala tanpa spasi sesaat setelah
aku menjawab salamnya.“Siapa yang meninggal La? Sebenarnya sekarang aku sedang
di bangku bambu belakang sekolah menunggu Mas Arham”, kataku mulai
gundah.“Astaghfirullah, kamu menungggu Mas Arham? Mas Arham, Jauza... Mas Arham
barusaja kecelakaan di tikungan samping sekolah dan langsung meninggal di
temapat...”, katanya lirih.
Aku yang dewasa menangis untuk
kesekian kalinya. Aku mengiringi tangis yang tertahan dari aku yang kecil.
Ingin sekali aku menopang langkah kecilku yang tergopoh menuju sekolah,
melewati tikungan samping sekolah yang masih mencekam dengan percikan darah,
juga orang-orang yang menyaksikan kejadian itu. Disisi kanan jalan, sebuah truk
terjungkal dengan kaca-kaca yang pecah berserakan, juga ada bekas ban yang
terseret di samping kiri truk itu. Sedikit tergambar apa yang barusaja terjadi
disana. Sebuah kecelakaan yang mematikan, dan korbannya, ah...aku tidak sanggup
menyebutnya.
Aku yang dewasa tak mampu lagi
berdiri, aku jatuh terjongkok dan seperti tidak sadarkan diri. Lalu ketika aku
sadar, aku sudah berada di kamarku lagi. Dengan sosokku yang sudah dewasa,
dengan ayah dan ibuku tertidur terduduk di sampingku. Dan tubuhku sepertinya
menjadi magnet untukku. Aku kembali disatukan dengan tubuhku setelah aku
menembus perjalanan waktu. Aku tertidur, lama, dan aku melihatnya. Aku melihat
Mas Arham dan diriku berada pada ruangan yang serba putih. Aku memakai seragam
putih abu-abu, seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya, dan iapun juga
berseragam putih abu-abu, sama seperti aku.
Matanya yang menenangkan itu
menatapku dalam, perlahan ia mendekatiku yang mematung di hadapannya, lalu ia
berkata lembut, “Jauza, maafkan aku yang akhirnnya hanya mampu membuatmu
meneteskan kristal bening dari mata indahmu ini. Aku bahkan tidak sempat
menemuimu di bangku bambu belakang sekolah, padahal aku yang menyuruhmu
terlebih dahulu pergi kesana. Ketahuilah Jauza, aku ingin sekali membuatmu
tersenyum saat itu. aku membayangkan matamu yang tiba-tiba tertuduk malu
menyambut aku datang saat itu. Tapi, Allah bertakdir lain. Aku mendahuluimu melewati
pintu langit. Menjauh dan menjauh tanpa aku mampu menghindarinya. Dan kacamata
minusku yang masih kau simpan bahkan setelah tujuh tahun berlalu itu membuatku
mempunyai alasan untuk kembali menemuimu. Allah Maha Baik, dan lewat perjumpaan
ini, aku ingin kau bertahan, dan meniti jalan hidupmu di dunia sana. Banyak hal
yang bisa kau lakukan namun belum sempat kau lakukan disana, anak-anak didikmu
di sekolah, orangtuamu yang kini sedang menungguimu, dan calon suamimu, Mufti
yang harus kau sandarkan namanya di bawah nama Allah dan Rasulullah.
K-e-m-b-a-l-i-l-a-h, Jauza. Aku bahkan belum mengawali perjumpaan kita dengan
salam, dan kini di ujung perjumpaan kita ini, aku ingin mengucapkannya untukmu,
tulus dengan segenap ketulusan di hatiku. Sampai berjumpa kelak Jauza,
Wassalaamu’alaikum..,” lalu semua menjadi putih kembali.
Tiba-tiba, aku mampu membuka mata
yang menyatu dengan ragaku, Ibuku yang berwajah sayu karena lelah menungguku
bersyukur seraya memelukku, menyebut namaku dan memuji kebesaran Allah secara
bergantian. Aku yang lemah didekapnya erat-erat. Beberapa menit kemudian, Mas
Mufti datang dari balik pintu, mengucap salam dan terkejut melihatku sudah
sadar. Ia tersenyum tipis, mirip dengan senyum Mas Arham. Akupun tersenyum,
Allah masih memberiku kesempatan. Kecelakaan yang kualami tempo hari tidak
menjadi perpanjangan tangan Allah untuk menjemput ruhku menghadapNya. Dalam
hati aku berkata lirih “Alhamdulillaah...aku selamat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar