Senin, 07 Oktober 2013

Siluet Sapaan Cinta di Segulir Perjalanan



Aku masih SMA kala itu. Kala sebuah perasaan asing yang lebih asing dari pelajaran logaritma. Perasaan yang aku tidak menemukan antonimnya. Jika sedih berantonim senang, kecewa berantonim puas, lantas perasaan ini, apa namanya dan apa antonimnya? Dan penelisikan-penelisikanku tentang rasa ini seperti memaksa otakku mengulik betapa luarbiasanya perasaan ini. Ia bukan bahagia atau duka, bukan pula kecewa dan perasaan getir semacamnya. Ia perasaan yang rumit namun sederhana, perasaan yang lebih dari cukup untuk menghidupkan hidup.
            Aku seperti tersedot dengan lamunanku sendiri. Tiba-tiba aku melihat diriku yang masih berseragam abu-abu. Aku dan sahabatku, Lala seperti biasa saat istirahat selalu menyempatkan diri untuk shalat dhuha di masjid sekolah. Tapi hari itu, langkahku terhenti di aula sekolah yang dipenuhi orang-orang tua. Mereka seperti sekumpulan guru yang sedang rapat akbar, atau peserta penataran yang kompak berbaju batik. Aku yang dewasa sontak mengingat kejadian itu. Aku merinding, dan satu persatu butiran bening yang kubendung di balik mataku meleleh, mendobrak pertahanan hatiku. Aku kembali memperhatikan aku yang kecil. Aku yang kecil dengan takut-takut mengintip dari balik jendela yang tirainya sedikit tersibak. Aku melihat seorang lelaki yang sedang duduk tenang diantara orang-orang yang berbaju batik. Ia sempat menoleh ke arahku, dan debaran yang mengawali perasaan aneh pertamakupun kualami jua.
            Ia yang memandangku dari balik kacamata minusnya sambil terduduk, lalu seperti ia tersenyum ke arahku namun aku terlanjur tersengat dengan perasaan asing lebih memilih lari menghilang darinya. Aku malu, dan berlari menyembunyikan rasa maluku. Di mushala, ditengah curahan hatiku pada ilahi rabbi tentang perasaanku saat itu, sayup-sayup aku mendengar kalam ilahi yang dibaca jernih, aku yakin itu ialah suara seorang laki-laki. Aku yang sedang mencoba meraba makna perasaanku inipun terlarut dengan lantunan kalam ilahi itu. Begitu damai rasanya, aliran-aliran air membentuk sungai di hatiku yang baru saja seperti berada di luar angkasa, di negeri antah berantah yang sama sekali tak ku kenali.
            Aku yang dewasa masih menangis, sungguh sebenarnya aku merindunya, rindu akan perjumpaan yang mengawali semua kisahku tentang sebuah rasa yang belakangan ku ketahui, bahwa itu ternyata segurat cinta yang menunjukkan sapaannya. Hatiku yang masih mungil tergelitik, lebih-lebih setelah aku mengetahui bahwa sang pembaca Al-Qur’an tadi ialah lelaki berkacamata minus yang kulihat dari balik jendela. Dari temanku, Lala aku tahu bahwa namanya ialah Arham. Arham adalah kakak kelasku, 2 tahun lebih tua dari aku. Ia terkenal ramah, dan menjadi aktivis di organisasi keislaman di SMA. Mas Arham, begitulah akhwat di sekolah memanggilnya. Dengar-dengar ia juga seorang hafidz, seorang yang sudah menghafal Al-Qur’an. Selanjutnya setelah aku mengetahui sekelumit data dirinya, aku hanya mengaguminya. Aku hanya mengaguminya dalam diam, dalam doa-doa yang kupanjatkan siang malam, dalam ketundukan dan kuzuhudan untuk meredam rasa yang bisa jadi tipu daya syaitan. Semakin hari aku mengetahui tentang dirinya, semakin keras aku berusaha menjadikan hatiku tetap berada pada titik nol, dengan kepasrahan tertinggi. Aku beruntung, karena di usiaku yang bahkan belum 17 tahun, aku dipertemukan dengan akhwat yang jauh lebih dewasa dariku. Akhwat di pondok pesantren yang mayoritas sudah kuliah semester 6. Aku menceritakan semuanya tentang kisahku, dan mereka menjadi pengerem yang pakem tentang buncahan rasa yang tiba-tiba hadir merepotkanku itu. “Banyak-banyaklah istighfar, Jauza”, begitulah kata Mbak Novi, senior di pondok pesantren yang sudah ku anggap sebagai kakakku sendiri.
            Dalam tangisku menyaksikan siluet masa mudaku, aku kembali tersedot dalam lubang yang didalamnya seperti angin yang bergulung-gulung, menerbangkanku menembus waktu dan mendaratkanku di tempat yang sangat kurindukan. Masjid SMA lantai dua. Aku melihat aku yang masih kecil berdiri bersandar di tiang masjid dekat tangga dan melayangkan pandanganku menyapu seisi lantai satu masjid. Beberapa saat kemudian, aku kecil menfokuskan pandanganku pada satu titik, sambil menundukkan badanku setinggi pembatas untuk mengintai seseorang. Mas Arham. Obyek yang sedang aku intai saat itu. Aku melihat Mas Arham sedang terduduk sambil terkantuk-kantuk. Sesekali matanya terpejam, kepalanya terantuk ke depan, dan beberapa saat kemudian kembali sadar. Ia sedang duduk sendiri kala itu, dan aku menahan ketawa melihatnya. Mangantuk memang sudah terkenal sebagai kebiasaan seorang santri. Akupun juga sering begitu, apalagi suasana masjid yang selalu menyejukkan sangat mendukung rasa kantuk. Saat itu, aku masih diam-diam mengaguminya. Hingga secara tidak sengaja, matanya yang baru saja tersadar menabrak mataku yang masih asik memandangnya. Aku sempat beberapa detik tidak mampu mengelebatkan pandanganku padanya, namun beberapa detik setelah itu, aku kembali mampu berkuasa atas mataku lagi. Aku menenggelamkan diriku dibalik pambatas masjid dan mangikuti kata-kata mbak Novi : beristighfar.
            Aku yang dewasa geleng-geleng sendiri melihat tingkahku kala itu. Sembari kuperhatikan diriku di masa lalu, airmata menetes lagi dan lagi melihat Mas Arham yang sangat kurindukan. Aku teringat betapa aku sangat ingin bicara dengannya, betapa aku sangat ingin berjalan di sampingnya, namun Ilahi Rabbi berkehendak lain, dengan kehendak yang lebih indah dan lebih kubutuhkan daripada keinginan kecilku itu.
            Aku yang dewasa masih memandang tingkahku yang kecil. Dalam kalimat-kalimat istighfar, aku kembali mengintai Mas Arham, kali ini ia sudah tidak berjibaku melawan kantuknya, ia kini menorehkan tinta di secarik kertas sambil sesekali menyunggingkan senyum dan membetulkan letak kacamata minusnya. Dari jarak beberapa meter, Mas Arham tampak seperti seorang pujangga yang sedang merangkai syair.
            Lalu, aku yang dewasa dengan tiba-tiba kembali tersedot dalam lorong yang tak kukenali. Aku seperti dibawa untuk melintasi waktu, dan kembali mendarat di tempat yang aku sangat rindukan. Aku melihat aku yang kecil tersenyum gembira di kursi bambu belakang sekolah. Aku menggenggam secarik surat yang disertai kacamata minus yang begitu akrab dengan mataku akhir-akhir ini.
Teruntuk Rajwa...
                Dari balik jendela kaca yang tirainya sedikit tersibak, dalam beberapa detik Allah seperti menyihirku lewat perantara ciptaanNya yang mempesona, yaitu sepasang matamu. Teduh, dan tenang. Dan aku sangat bersyukur dapat melihatnya beberapa waktu yang lalu. Di tempat ini, di Masjid SMA kita yang sejuk ini, kembali aku melihat mata itu, beberapa kali sedang memperhatikanku. Aku sempat tidak percaya tentang hal itu, tapi setelah pandangan kita saling bertaut, aku mulai meyakinkan diriku untuk mempercayainya.
                Maaf jika suratku ini mendebarkan hatimu. Ada satu hal yang ingin aku ungkapkan padamu, bahwa sebenarnya tanpa kau ketahui, aku sudah tahu namamu sesaat setelah mata indahmu menyusupkan sebuah debaran asing di hatiku. Aku secara tidak sopan mencari tahu tentang dirimu. Dan aku semakin ingin mengenalmu, secara langsung dari dirimu, maka dari itu, dengan kacamata yang kutitipkan ini, mohon nanti sepulang sekolah menemuiku di kursi bambu belakang sekolah, jikapun kau tidak berkenan bicara padaku, setidaknya tolong kembalikan kacamataku yang kutitipkan ini.
Dari saya yang tidak sopan Arham...
            Saat itu, hatiku bagai terbang ke angkasa raya, begitu bahagia. Dan, dengan sabar aku menunggunya di tempat ini, di kursi bambu belakang sekolah. Aku melihat aku yang kecikl sedang memandang guguran daun kuning yang berjatuhan disekitarku. Matahari masih terik karena barusaja waktu pulang sekolah tiba. Beberapa menit aku menunggunya, telepon genggam yang kutaruh di saku rok abu-abu bergetar. Lala, sahabat baikku menelepon. Dari seberang, terdengar suaranya sendu. Ia sedang mengalami kesedihan yang mendalam, begitulah kesimpulanku.
            “Jauza, kamu mau ikut ta’ziyah ke rumahnya Mas Arham tidak? Kalau ikut, sekalian saja sama anak-anak rohis, sekarang ya ditunggu di depan masjid SMA”, kata Lala tanpa spasi sesaat setelah aku menjawab salamnya.“Siapa yang meninggal La? Sebenarnya sekarang aku sedang di bangku bambu belakang sekolah menunggu Mas Arham”, kataku mulai gundah.“Astaghfirullah, kamu menungggu Mas Arham? Mas Arham, Jauza... Mas Arham barusaja kecelakaan di tikungan samping sekolah dan langsung meninggal di temapat...”, katanya lirih.
            Aku yang dewasa menangis untuk kesekian kalinya. Aku mengiringi tangis yang tertahan dari aku yang kecil. Ingin sekali aku menopang langkah kecilku yang tergopoh menuju sekolah, melewati tikungan samping sekolah yang masih mencekam dengan percikan darah, juga orang-orang yang menyaksikan kejadian itu. Disisi kanan jalan, sebuah truk terjungkal dengan kaca-kaca yang pecah berserakan, juga ada bekas ban yang terseret di samping kiri truk itu. Sedikit tergambar apa yang barusaja terjadi disana. Sebuah kecelakaan yang mematikan, dan korbannya, ah...aku tidak sanggup menyebutnya.
            Aku yang dewasa tak mampu lagi berdiri, aku jatuh terjongkok dan seperti tidak sadarkan diri. Lalu ketika aku sadar, aku sudah berada di kamarku lagi. Dengan sosokku yang sudah dewasa, dengan ayah dan ibuku tertidur terduduk di sampingku. Dan tubuhku sepertinya menjadi magnet untukku. Aku kembali disatukan dengan tubuhku setelah aku menembus perjalanan waktu. Aku tertidur, lama, dan aku melihatnya. Aku melihat Mas Arham dan diriku berada pada ruangan yang serba putih. Aku memakai seragam putih abu-abu, seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya, dan iapun juga berseragam putih abu-abu, sama seperti aku.
            Matanya yang menenangkan itu menatapku dalam, perlahan ia mendekatiku yang mematung di hadapannya, lalu ia berkata lembut, “Jauza, maafkan aku yang akhirnnya hanya mampu membuatmu meneteskan kristal bening dari mata indahmu ini. Aku bahkan tidak sempat menemuimu di bangku bambu belakang sekolah, padahal aku yang menyuruhmu terlebih dahulu pergi kesana. Ketahuilah Jauza, aku ingin sekali membuatmu tersenyum saat itu. aku membayangkan matamu yang tiba-tiba tertuduk malu menyambut aku datang saat itu. Tapi, Allah bertakdir lain. Aku mendahuluimu melewati pintu langit. Menjauh dan menjauh tanpa aku mampu menghindarinya. Dan kacamata minusku yang masih kau simpan bahkan setelah tujuh tahun berlalu itu membuatku mempunyai alasan untuk kembali menemuimu. Allah Maha Baik, dan lewat perjumpaan ini, aku ingin kau bertahan, dan meniti jalan hidupmu di dunia sana. Banyak hal yang bisa kau lakukan namun belum sempat kau lakukan disana, anak-anak didikmu di sekolah, orangtuamu yang kini sedang menungguimu, dan calon suamimu, Mufti yang harus kau sandarkan namanya di bawah nama Allah dan Rasulullah. K-e-m-b-a-l-i-l-a-h, Jauza. Aku bahkan belum mengawali perjumpaan kita dengan salam, dan kini di ujung perjumpaan kita ini, aku ingin mengucapkannya untukmu, tulus dengan segenap ketulusan di hatiku. Sampai berjumpa kelak Jauza, Wassalaamu’alaikum..,” lalu semua menjadi putih kembali.
            Tiba-tiba, aku mampu membuka mata yang menyatu dengan ragaku, Ibuku yang berwajah sayu karena lelah menungguku bersyukur seraya memelukku, menyebut namaku dan memuji kebesaran Allah secara bergantian. Aku yang lemah didekapnya erat-erat. Beberapa menit kemudian, Mas Mufti datang dari balik pintu, mengucap salam dan terkejut melihatku sudah sadar. Ia tersenyum tipis, mirip dengan senyum Mas Arham. Akupun tersenyum, Allah masih memberiku kesempatan. Kecelakaan yang kualami tempo hari tidak menjadi perpanjangan tangan Allah untuk menjemput ruhku menghadapNya. Dalam hati aku berkata lirih “Alhamdulillaah...aku selamat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar