Hasna pergi begitu saja. Cepat. Meninggalkan kenangan yang meluluh
lantahkan hatinya. Perih. Selalu seperti itu setiap ia kembali harus menyusuri
jalan-jalan yang dahulu menjadi jalan terindah di setiap harinya. Selain cinta,
mungkin hal yang ajaib adalah kenangan, ia dapat begitu manis di suatu waktu,
dan menjadi sangat pahit di waktu yang lain. Aku selalu bingung
membicarakan hal-hal yag ajaib seperti itu. Tapi Hasna, ia lebih bingung meniti
hidup dalam kungkungan kenangan yang serba kadang-kadang. Kadang-kadang manis
bak gula-gula, kadang-kadang pahit serasa obat sakit kepala.
Siang di musim penghujan, hujan turun
berjam-jam. Ia berteduh berjam-jam pula. Payung yang dibawanya tertinggal di
kantor sekolah. Ia sedang berada di teras pertokoan kala itu. Bayangan seseorang
yang ia kenang berkelebat mendebarkan. Ia membelalakkan matanya,
mengerjapkannya berkali-kali, lalu hilanglah bayangan itu.” Ampun.. aku
bodoh lagi. Live must go on, Hasna.” Hasna bermonolog lagi pada dirinya,
dengan monolog yang sama. Hasna segera memaksa dirinya untuk melupakan bayangan
yang berkelebat barusan. Ia alihkan pada rintik-rintik hujan yang mirip dengan Kristal.
Selalu menenangkan.
Satu jam ia berdiri di teras
pertokoan itu, ia tiba-tiba membodoh-bodohkan dirinya sendiri, sepuluh kali
lebih banyak daripada yang awal. Ia melihat sosok yang ia kenang tepat di
hadapannya, tersenyum padanya, melihatnya, bersitatap mata ke mata. Hatinya bagai
dihantam ombak kenangan, hatinya bagai tanah yang ingin longsor. “Benarkah? Benarkah
ia ada di hadapanku?” monolognya lagi. “Hai… Hasna…” kata orang itu, singkat. Seketika
itu, Hasna sadar dari lamunannya. “Haa..Hai…” Hasna terbata. Mata orang itu
benar-benar menenggelamkan Hasna pada perasaan yang sebenarnya belum hilang
meski mereka telah tidak bertemu selama empat tahun. Rasa itu datang lagi
menggelitik relung hatinya, menggoyahkan tekad move onnya. “Hasna, apa yang kau
pikirkan, apa yang kau rasakan?” hatinya berbisik.
***
Hasna berbunga-bunga hari ini. Kenangan
dan kenyataan seperti seiring sejalan bagi Hasna akhir-akhir ini. Pertemuannya dengan orang yang ia kenang
membawanya pada kenyataan. Bermula pada pertemuan yang disaksikan oleh beribu
air langit, perasaan Hasna yang empat tahun bersemayam di dinding jiwanya kini
dapat ia bagi dengan orang itu. Seminggu setelah hari itu, orang yang Hasna
kenang menyatakan rasanya juga pada Hasna. Rasa yang sama, mereka saling suka. Empat
tahun Hasna tidak sia-sia, dan memang tidak akan ada yang sia-sia selama mau
bersabar dan menjaganya.
Namun sayangnya, romansa mereka
harus terpisah jarak setelah sebulan mereka intens merekatkan rasa. Berbagi info
tentang diri mereka masing-masing. Berbagi deskripsi mengenai rasa yang telah
bertahta lama di jiwa. Airmata Hasna mengalir deras, bersaing dengan hujan yang
mengiringi perjalanan orang itu ke Kota Lain.
***
“Lili, aku benar-benar rindu. Namun
aku juga kecewa. Sangat. Dua bulan ia disana, tak ada kabar berita. Aku hubungi
a berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Ia seperti menghilang, Li. Seenaknya saja
menghempaskan hatiku. Sering aku berpikir, empat tahun merawat perasaan ini,
apakah tidak cukup?” airmata Hasna mengalir sangat deras saat ia bercerita
kepadaku. Pkilatan langit menambah sayatan luka di hatinya. “Lili, aku ingin
menyusulnya, menyusul Mas Adit.” Kata Hasna berapi-api, menghanguskan sakit di
hatinya. Baru aku tahu bahwa orang yang selama ini ia kenang bernama Adit. Aku mendukungnya.
Perasaan harus dijelaskan sejelas-jelasnya. Jika Adit tidak mau atau
tidak mampu menjelaskannya, maka haruslah Hasna yang mencarinya. Ini bukan
hanya perkara hati Adit, tapi juga hati Hasna.
***
Kota Lain sangat ramai. Dengan selembar
kertas beruliskan alamat, Hasna memberanikan dirinya mengitari Kota Lain ini. Ia
masih buta dengan arah kota ini. Lama ia berkitar, dari sisi satu ke sisi yang
lain. Dari sudut satu ke sudut yang lain. Setengah hari ia melalukan perjalanan
harap-harap cemas. Tak kunjung bertemu. Ia berjalan lagi, lama, dan lelah. Bertanya-tanya
kesana-kemari.
Tuhan menyayangi hamba-hambaNya yang
mau berjuang. Setelah seharian Hasna melewati gang-gang dan belokan-belokan,
iapun menemukan rumah Adit yang ternyata kosong. Bersama senja, ia memutuskan
untu menunggu Adit. Ia mencoba mengatur detak jantungnya senormal mungkin.
Lima belas menit duduk di bangku
kayu di depan rumah Adit, Hasna melihat Adit datang. Ya Adit benar-benar
datang. Datang bersama, bersama orang lain yang ia genggam tangannya. Adit
selingkuh. Hasna menyimpulkan kejadian yang barusan ia lihat. “Tidak, aku harus
mendengar penjelasannya dulu. Jangan emosi. Jiwaku, tenanglah, kuatlah,
sebentar saja.” Adit terbelalak melihat Hasna didepanya. Wanita yang disamping
Adit bertanya siapa Hasna, dan Adit kebingungan menjelaskan. “Dia, Hasna,
sahabatku dulu.” Kata-kata Adit yang langsung meremukkan hati Hasna. Airmata kembali
mengalir bak air langit yang turun. Ia remuk, ia redam, ia sakit, ia perih. Kesetiaannya
tercabik. Dengan airmata yang semakin menderas, Hasna tanpa pikir panjang meninggalkan lelaki yang mulai detik iu tidak
akn lagi menjadi kenangan indahnya. Nila setitik, rusak susu sebelanga. Begitulah
kira-kira.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar