Senin, 07 Oktober 2013

Sekeping Kenangan, Ajaib



Hasna pergi begitu saja. Cepat. Meninggalkan kenangan yang meluluh lantahkan hatinya. Perih. Selalu seperti itu setiap ia kembali harus menyusuri jalan-jalan yang dahulu menjadi jalan terindah di setiap harinya. Selain cinta, mungkin hal yang ajaib adalah kenangan, ia dapat begitu manis di suatu waktu, dan menjadi sangat pahit di waktu yang lain. Aku selalu bingung membicarakan hal-hal yag ajaib seperti itu. Tapi Hasna, ia lebih bingung meniti hidup dalam kungkungan kenangan yang serba kadang-kadang. Kadang-kadang manis bak gula-gula, kadang-kadang pahit serasa obat sakit kepala.
            Siang di musim penghujan, hujan turun berjam-jam. Ia berteduh berjam-jam pula. Payung yang dibawanya tertinggal di kantor sekolah. Ia sedang berada di teras pertokoan kala itu. Bayangan seseorang yang ia kenang berkelebat mendebarkan. Ia membelalakkan matanya, mengerjapkannya berkali-kali, lalu hilanglah bayangan itu.” Ampun.. aku bodoh lagi. Live must go on, Hasna.” Hasna bermonolog lagi pada dirinya, dengan monolog yang sama. Hasna segera memaksa dirinya untuk melupakan bayangan yang berkelebat barusan. Ia alihkan pada rintik-rintik hujan yang mirip dengan Kristal. Selalu menenangkan.
            Satu jam ia berdiri di teras pertokoan itu, ia tiba-tiba membodoh-bodohkan dirinya sendiri, sepuluh kali lebih banyak daripada yang awal. Ia melihat sosok yang ia kenang tepat di hadapannya, tersenyum padanya, melihatnya, bersitatap mata ke mata. Hatinya bagai dihantam ombak kenangan, hatinya bagai tanah yang ingin longsor. “Benarkah? Benarkah ia ada di hadapanku?” monolognya lagi. “Hai… Hasna…” kata orang itu, singkat. Seketika itu, Hasna sadar dari lamunannya. “Haa..Hai…” Hasna terbata. Mata orang itu benar-benar menenggelamkan Hasna pada perasaan yang sebenarnya belum hilang meski mereka telah tidak bertemu selama empat tahun. Rasa itu datang lagi menggelitik relung hatinya, menggoyahkan tekad move onnya. “Hasna, apa yang kau pikirkan, apa yang kau rasakan?” hatinya berbisik.
***                                                                                                                         
            Hasna berbunga-bunga hari ini. Kenangan dan kenyataan seperti seiring sejalan bagi Hasna akhir-akhir  ini. Pertemuannya dengan orang yang ia kenang membawanya pada kenyataan. Bermula pada pertemuan yang disaksikan oleh beribu air langit, perasaan Hasna yang empat tahun bersemayam di dinding jiwanya kini dapat ia bagi dengan orang itu. Seminggu setelah hari itu, orang yang Hasna kenang menyatakan rasanya juga pada Hasna. Rasa yang sama, mereka saling suka. Empat tahun Hasna tidak sia-sia, dan memang tidak akan ada yang sia-sia selama mau bersabar dan menjaganya.
            Namun sayangnya, romansa mereka harus terpisah jarak setelah sebulan mereka intens merekatkan rasa. Berbagi info tentang diri mereka masing-masing. Berbagi deskripsi mengenai rasa yang telah bertahta lama di jiwa. Airmata Hasna mengalir deras, bersaing dengan hujan yang mengiringi perjalanan orang itu ke Kota Lain.
***
            “Lili, aku benar-benar rindu. Namun aku juga kecewa. Sangat. Dua bulan ia disana, tak ada kabar berita. Aku hubungi a berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Ia seperti menghilang, Li. Seenaknya saja menghempaskan hatiku. Sering aku berpikir, empat tahun merawat perasaan ini, apakah tidak cukup?” airmata Hasna mengalir sangat deras saat ia bercerita kepadaku. Pkilatan langit menambah sayatan luka di hatinya. “Lili, aku ingin menyusulnya, menyusul Mas Adit.” Kata Hasna berapi-api, menghanguskan sakit di hatinya. Baru aku tahu bahwa orang yang selama ini ia kenang bernama Adit. Aku mendukungnya. Perasaan harus dijelaskan sejelas-jelasnya. Jika Adit tidak mau atau tidak mampu menjelaskannya, maka haruslah Hasna yang mencarinya. Ini bukan hanya perkara hati Adit, tapi juga hati Hasna.
***
            Kota Lain sangat ramai. Dengan selembar kertas beruliskan alamat, Hasna memberanikan dirinya mengitari Kota Lain ini. Ia masih buta dengan arah kota ini. Lama ia berkitar, dari sisi satu ke sisi yang lain. Dari sudut satu ke sudut yang lain. Setengah hari ia melalukan perjalanan harap-harap cemas. Tak kunjung bertemu. Ia berjalan lagi, lama, dan lelah. Bertanya-tanya kesana-kemari.
            Tuhan menyayangi hamba-hambaNya yang mau berjuang. Setelah seharian Hasna melewati gang-gang dan belokan-belokan, iapun menemukan rumah Adit yang ternyata kosong. Bersama senja, ia memutuskan untu menunggu Adit. Ia mencoba mengatur detak jantungnya senormal mungkin.
            Lima belas menit duduk di bangku kayu di depan rumah Adit, Hasna melihat Adit datang. Ya Adit benar-benar datang. Datang bersama, bersama orang lain yang ia genggam tangannya. Adit selingkuh. Hasna menyimpulkan kejadian yang barusan ia lihat. “Tidak, aku harus mendengar penjelasannya dulu. Jangan emosi. Jiwaku, tenanglah, kuatlah, sebentar saja.” Adit terbelalak melihat Hasna didepanya. Wanita yang disamping Adit bertanya siapa Hasna, dan Adit kebingungan menjelaskan. “Dia, Hasna, sahabatku dulu.” Kata-kata Adit yang langsung meremukkan hati Hasna. Airmata kembali mengalir bak air langit yang turun. Ia remuk, ia redam, ia sakit, ia perih. Kesetiaannya tercabik. Dengan airmata yang semakin menderas, Hasna tanpa pikir panjang  meninggalkan lelaki yang mulai detik iu tidak akn lagi menjadi kenangan indahnya. Nila setitik, rusak susu sebelanga. Begitulah kira-kira.
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar